04. Partner

197 26 27
                                    

Laki-laki dan wanita itu mendekati kami, walau mulut mereka tertutupi oleh kain tetapi dapat aku rasa bahwa mereka sedang tersenyum sinis. Ini adalah saat yang salah jika kakiku gemetar sekarang.

Tiba-tiba saja lelaki itu mengangkat tangannya sebahu dan angin kencang seperti menekanku ke tembok di belakangku. Jeni mengeluarkan petirnya tetapi mereka dapat menghindari petir itu dengan baik. Aku terbang ke atas dan menurunkan Jeni di pijakan atas agar ia tak lagi terkena dampak denganku.

"Revia, apa kau punya rencana?" bisik Jeni.

"Bagaimana jika... kita melakukan seperti biasanya?"

"Tunggu, kau yakin?! Mereka berdua adalah manusia dan kita tak tau apakah wanita itu mempunyai kekuatan atau tidak!" jerit Jeni tertahan.

"Lalu... apa kau mempunyai ide lain?" tanyaku pelan yang melihat ke Jeni, kini ia mengigit bibirnya dan membuang pandangannya. "Kalau begitu hanya ini."

"Berhati-hatilah." Jeni menarik ujung seragamku tepat sebelum aku ingin terbang. Hanya untuk menenangkan aku mengangguk walau aku tau ini sangatlah berbahaya dan masih dapat aku rasakan kedua kakiku gemetar.

Aku terbang dengan cepat ke arah mereka berdua yang masih bersampingan. Lelaki itu kembali mengangkat tangannya, karena aku mencondong ke depan hal ini memudahkanku untuk mengelak dari serangannya. Jeni yang ada di belakangku langsung mengeluarkan petirnya di saat aku terbang ke atas, membuat mereka sedikit kelabakan.

Aku yang kini berada di atas mereka mengeluarkan pisau kecil dari kantung di celanaku. Wanita yang sedari tadi hanya diam dan menghindar kini melihatku dari pinggir matanya, seketika itu juga aku tidak dapat menggerakkan sayapku dan terjatuh.

"REVIA!"

Untung saja jarakku dan tanah tak begitu jauh tetapi karena kakiku masih saja lemas, aku terjatuh cukup keras. Dapat aku rasakan sensasi dingin di punggungku. es?! Dia membekukan tulang punggungku sekaligus pusat sayapku?! Wanita ini... berbahaya...

"Rev.. ukh!" Terlihat Jeni menutupi wajahnya dengan kedua lengannya dan rambutnya yang terkena angin ke belakang.

Tunggu.. kalau seperti ini terus Jeni bisa terdorong ke belakang dan terluka! "JENI!"

"Seharusnya kau memikirkan dirimu sendiri sebelum memikirkan nasib orang lain," kata wanita itu dengan tatapan meremehkannya.

Aduh kaki! Ayo bergeraklah! Aku memukul-mukul kakiku, setidaknya dengan kakiku aku dapat menendangnya dan lelaki itu tetapi sayangnya kakiku terlalu lemas untuk itu.

"Matilah." Wanita itu telah berada di depanku dan aku dapat melihat asap es dari tangannya. Tubuhku terlalu tegang walau pikiranku menyuruhku menyingkir.

Tiba-tiba munculah api yang seakan-akan menjadi tembok penghalang. Aku maupun wanita itu terkejut, seingatku tidak ada yang bisa menguasai kekuatan api di tempat kerjaku. Lalu siapa?

"Tahan ya."

"Huh?" Seketika aku merasakan panas yang sangat seperti tubuhku meleleh karena panas itu. Tak lama aku merasa dapat menggerakkan kedua sayapku kembali. Jangan-jangan yang tadi meleleh adalah... esnya?

"Yap, selesai,"kata sebuah suara yang berjalan ke sampingku.

"Kau!" geram wanita itu.

Terlihat sebuah tringgiling yang mempunyai kulit kerasnya yang berwarna jingga kemerahan dengan kulit dalamnya yang berwarna kecoklatan. Aku hanya dapat terdiam melihatnya.

"Kenapa? ini pertama kalinya kau melihat viribus huh?"

"Tringgiling berbicara! .... huh? Tunggu kau bilang viribus?" tanyaku tak percaya.

Free IndefinitelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang