"Jadi karena inilah alasannya..." Igvin melihat sekelilingnya yang penuh dengan kios dan orang-orang yang berlalu-lalang.
Aku tertawa pelan. "Dengan begini pertanyaanmu beberapa hari yang lalu terjawab bukan?" tanyaku kembali menyusun barang dagangan.
Karena tidak ada balasan yang aku terima, aku meliriknya yang berada di tempat tas-tas di letakkan. Matanya terlihat berbinar-binar walau dengan wujud tringgiling itu. Hal itu membuatku kembali tertawa pelan.
"Apakah sudah selesai? Kita akan membuka kios sekarang," kata Melia dengan kedua tangan di pinggangnya puas.
"Di sini siap," kata Aulia.
"Di sini juga siap," kataku.
Setelah itu Melia berteriak untuk menarik perhatian pembeli. Bukan hanya barang saja yang kami tawarkan, tetapi juga brosur tempat pariwisata kami. Cukup banyak orang yang tertarik dengan boneka handmade ibu Nia, istri pemilik pariwisata tempat aku bekerja.
"Revia, Revia," panggil Felen dengan berbisik.
"Ada apa?" tanyaku bingung.
"Lihat deh ke sana deh." Aku melihat arah yang ditunjuk oleh matanya. Terdapat beberapa siswi sekolah kota Centrum yang berjalan dengan membawa tas di tangannya. "Roknya pendek sekali bukan?" Pandanganku kini mengarah ke Felen yang terlihat tertarik.
"Walau berkata seperti itu kau ingin memakai rok sekolah itu bukan?" godaku.
Felen dengan cepat mengarahkan kepalanya kearahku lalu ia tersipu malu. Yah mau bagaimana lagi? Ia gadis 15 tahun yang sangat feminim. Berbeda denganku yang lebih tua setahun dari padanya.
"Eh! Dia!" Aku menatap Igvin bingung, ia menatap ke satu arah dengan ekpresi kaget. Pandanganku mengarah pada fokusnya dan terlihatlah dua siswa sekolah Centrum, salah satunya membiarkan seekor burung biru bertengger di bahunya. Satunya lagi... bukankah itu Virgilio?
"Ada apa?" bisik Felen bingung.
"Ah, ti-"
"Revia! Felen! Bisakah kalian membantu kesini?" tanya Aulia yang terlihat cukup kerepotan.
"Iya!" seruku dan Felen bersamaan, kami sama-sama berlari kecil ke arahnya.
......
Beberapa jam telah berlalu. Udara yang tadi terasa dingin sekarang mulai terasa panas. Bahkan Igvin yang tidak ada rencana membantu kini terpaksa harus membantu kami.
"Dia benar-benar multifungsi ya," kata Melia sembari menepuk pundak Igvin.
"Aku bukan benda!" seru Igvin kesal.
"Ayolah-ayolah, jangan malu-malu seperti itu," kata Melia jail dan tetap menepuk-nepuk pundak Igvin yang semakin keras.
"Siapa juga yang malu?!" tanya Igvin yang semakin kesal.
"Ngomong-ngomong karena kita telah di sini bagaimana jika kalian pergi ke tugu batu yang terkenal itu? Kalian berempat belum pernah kesana bukan? Aku yakin yang lainnya sedang berada di sana."
Aku, Aulia dan Felen saling menatap bingung. "Lainnya? Bukankah hanya kita berempat-lima dengannya-yang diminta berjualan?" tanya Aulia bingung.
Melia tersenyum manis. "Lihat saja ke sana." Perkataannya membuat kami bertiga kembali bertatapan bingung.
Dengan berbekal mulut dan pengetahuan seadanya, kami berjalan menuju tugu batu yang katanya untuk menghormati para pahlawan yang gugur belasan tahun yang lalu. Saat kami sudah mendekati tempat tujuan, terdengar suara isakan yang tertangkap oleh telinga kami. Kami saling bertatap untuk memastikan bukan hanya aku sendiri yang mendengarnya, lalu berjalan cepat menuju tujuan atau lebih tepatnya berlari kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Free Indefinitely
FantasyDengan sihir yang bisa membuat sayap tetapi di ramalkan bisa menengahi pertarungan sengit antar negara. Sebenarnya apa yang harus di lakukan? Bahkan menerima kenyataan pahit yang harus di tanggung demi melancarkan apa yang diramalkan itu. Sampai...