1 - Let The Story Begins

6.2K 190 3
                                    

Perjodohan dan cinta yang menyertai. Sebuah kisah klasik yang tak jarang ditemui. Namun waktu tak dapat berbohong. Hubungan bukan sesuatu yang dapat dibangun sehari semalam!

Kevin Sanjaya Sukamuljo memasuki ruangan ayahnya dengan wajah gusar. Engsel pintu ruangan itu pun hampir lepas dibantingnya.

"Pa, apa lagi sih maksudnya ini?" Seru Kevin, menunjukkan foto seorang gadis berparas cantik di layar handphonenya.

"Kan sudah Papa jelaskan di chat itu. Kamu akan bertemu calonmu di restoran Peia nanti malam. Sudah Papa pesankan meja dari minggu lalu. Papa kirimkan foto itu biar kamu ndak salah orang Vin. Kamu belum pernah ketemu dengannya toh?" sahut Pak Sugiarto - ayah Kevin - tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas proposal tender di mejanya.

"Harus berapa kali lagi sih Kevin katakan? Kevin ga mau dijodohkan!" Teriak Kevin pada ayahnya, hampir ia melempar handphonenya jika tidak ingat dokumen penting di dalamnya.

Ucapan Kevin membuat sang ayah mengangkat kepalanya dan melirik anak semata wayangnya itu. Ia melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di batang hidungnya, lalu menyandarkan punggungnya di kursi General Manager tersebut.

"Vin, sama sepertimu Papa juga sudah bosan mengulang hal yang sama terus-menerus. Dan Papa yakin kamu sudah paham betul situasi perusahaan kita. Kita butuh ini. Ribuan orang bergantung padamu Vin!" ujar Pak Sugiarto lagi dengan nada lembut, berusaha menenangkan dan memberi pengertian pada putranya.

Sesungguhnya Kevin sadar betul keadaan perusahaan keluarganya yang sedang terpuruk, terkena imbas dari melemahnya ekonomi lokal dan dunia. Beberapa investor mulai menunjukkan tanda akan mengakhiri kerjasamanya. Padahal saat ini mereka membutuhkan modal untuk beralih haluan, membuat gebrakan baru dalam produk mereka yang sudah digarap 1 tahun belakangan.

Kevin juga mengerti betul alasan ayahnya mengajukan pernikahan ini sebagai solusi. Pak Sunee, pemilik T-Company, perusahaan yang sedang naik daun beberapa tahun terakhir, setuju untuk melakukan merging perusahaan dengan syarat Kevin bersedia menikahi putrinya.

Menurut pemikiran Kevin, kedua perusahaan itu akan mendapat untung. T-Company akan mendapat nama dari perusahaan keluarganya yang memang sudah puluhan tahun berdiri, sementara perusahaan keluarganya itu akan mendapat modal yang mereka butuhkan.

Namun, rasa kesal Kevin lebih kepada ketidakpercayaan sang ayah padanya. Ia punya rencana sendiri yang menurutnya mampu menyelamatkan perusahaan mereka. Kevin ingin melanjutkan pendidikan MBA di University of Glasgow, Skotlandia.

Tidak lama, hanya satu tahun. Kevin percaya perusahaannya akan mampu bertahan selama itu. Tak hanya itu, selama berkuliah ia akan mencari koneksi dan investor baru di universitas bergensi itu. Pastilah tempat itu jadi ladang subur baginya! Tapi sang ayah menolak mentah-mentah ide cemerlangnya.

'Tak ada pilihan lain,' batin Kevin, menatap ayahnya masih dengan emosi. Kevin membalik badan, meninggalkan ruangan sang ayah, tak lupa kembali membanting pintu malang itu.

Di tempat lain, sang calon istri baru pulang dari kampusnya. Sapsiree Taerattanachai, gadis berdarah Thailand itu terlihat sangat kelelahan setelah seharian berkutat dengan laptop dan buku-buku di perpustakaan dari pagi. Baru saja ia merebahkan tubuh di kasurnya yang empuk, terdengar ketukan di pintu kamarnya.

"Ya, masuk aja," seru gadis itu tanpa bergerak dari posisinya. Sedetik kemudian pintu terbuka, sang ayah masuk ke kamar putrinya itu dan duduk di sisi kasur sebelahnya.

"Gimana sayang bimbingannya? Capek ya?" Tanya Pak Sunee, prihatin melihat kondisi anaknya.

"Banget Pa. Pertama kali bimbingan setelah lama libur akhir tahun, Pak Fajar tiba-tiba minta Popor ganti topik skripsi. Jahat banget! Katanya beliau dapat inspirasi saat berlibur ke Bali. Padahal udah setengah jalan gini, bahkan Bu Debby yang strict saja sudah setuju dengan topik sebelumya! Mana beda banget sama yang Popor kerjain kemarin, harus mulai lagi dari awal! Kalau kayak gini bisa-bisa Popor ketinggalan wisuda Agustus," cerocos gadis yang akrab disapa Popor ini panjang lebar pada ayahnya, mukanya ditekuk sempurna.

"Sudah, tidak apa-apa Por. Tak perlu buru-buru lulus. Nikmati saja nak," ujar Pak Sunee sambil mengelus kepala Popor lembut.

"Tapi Pa, kan jadi makin ketinggalan sama teman-teman Popor.. May aja sudah mau wisuda bulan depan," sahut Popor merajuk manja.

"Sudah-sudah. Putri Papa ini jelek ah cemberut begitu, nanti Kevin tidak jadi mau lho sama kamu," goda Pak Sunee. Mendengar itu, Popor tidak lagi memasang wajah cemberut. Kini ekspresi di wajahnya berganti menjadi raut penuh kesedihan. Gadis mungil itu menghela nafas berat, lalu bangkit dari posisinya dan duduk di sebelah ayahnya. Melihat perubahan air muka putrinya, secara otomatis lengan Pak Sunee merangkul pundak Popor.

"Por.." panggil ayahnya lembut.

"Iya Pa, Popor ngerti kok. Popor pasti akan menikah sama orang itu," sahut Popor, wajahnya masih tertunduk. Pak Sunee pun menarik kepala Popor agar bersandar di bahunya.

"Nak, Papa tak akan bosan menceritakan ini ke kamu supaya kamu mengerti, ikhlas juga menjalaninya," ujar Pak Sunee lembut. Popor menghembuskan nafas perlahan, dapat menebak apa yang akan dikatakan sang ayah selanjutnya.

"Dulu sekali ketika di rumah sakit, Papa kebingungan mencari dana untuk pengobatan kanker mendiang Mama kamu. Jangankan pengobatan, untuk sekolah kamu dan kakakmu saja Papa tak punya.. Makanya kakakmu itu sempat berhenti sekolah setahun karena terpaksa," ujar Pak Sunee, matanya menerawang ke langit-langit kamar Popor. Popor hanya diam, ia sudah berkali-kali mendengar cerita itu.

"Waktu itu Pak Sugiartolah yang menolong Papa. Kebetulan beliau ada di rumah sakit yang sama karena anaknya, Kevin, juga sedang dirawat. Semua biaya yang perlu dibayar saat itu beliau yang bayar. Tak cuma itu, beliau juga bilang karena penyakit Mama itu parah, pasti butuh biaya banyak. Apalagi pengobatannya jangka panjang. Beliaulah yang mengajarkan Papa berbisnis, bahkan modalnya beliau berikan semua. Dengan punya usaha sendiri, Papa bisa bebas merawat Mama. Berkat beliaulah Mama bisa punya tambahan umur 6 tahun lagi, jadi kamu bisa punya memori bersama Mama," lanjut Pak Sunee panjang lebar, tersenyum mengenang mendiang istrinya.

"Papa bersyukur sekali, itu semua sudah lebih dari cukup. Sebenarnya Papa sangat rela memberikan perusahaan kita pada Pak Sugiarto dengan cuma-cuma, karena toh dari awal itu memang miliknya. Papa hanya menjalankan saja. Tapi memang orang kaya egonya tinggi, beliau tidak mau jika diberikan begitu saja. Jadi satu-satunya cara adalah menyatukan kedua keluarga, dan kamulah jalan satu-satunya Por," sambung Pak Sunee, kembali mengelus kepala putrinya. Popor hanya terdiam menatap lantai. Pandangannya mulai kabur oleh air mata.

"Maafkan Papa nak, tapi hutang budi kita pada mereka sangat besar. Papa tidak tega melihat mereka di ambang kebangkrutan seperti sekarang. Papa ingin bantu, membalas budi," cerita Pak Sunee, mempererat dekapannya di tubuh Popor. Sayup-sayup suara isak tangis putrinya itu mulai terdengar.

Popor sangat mengerti. Ia juga sangat-sangat berterima kasih pada keluarga Pak Sugiarto. Namun tetap saja hatinya pedih. Pedih harus melepas pujaan hatinya..

EMOTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang