40 - My turn to cry

1.8K 123 122
                                    

Kevin melangkahkan kakinya keluar dari mobil yang ditumpanginya, matanya memandangi bangunan megah di hadapannya. Bandara Soekarno-Hatta. Rasanya belum ada 24 jam ia meninggalkan tempat ini, dan sekarang ia harus kembali menapakkan kakinya di sini.

"Good luck Vin, nanti kalau udah dapat alamatnya langsung gua kirim ke lu," ujar Marcus dari dalam mobil. Ia tak bisa menemani sahabatnya itu lebih lama, mengingat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia masih harus berangkat ke kantor.

"Thanks Nyo," sahut Kevin menatap sahabatnya dalam. He meant it, ia benar-benar tidak tahu bagaimaa jadinya jika tidak ada Marcus. Mungkin ia masih kelayapan di jalanan Jakarta, tanpa arah dan tujuan, mencari keberadaan istri dan anaknya.

Mobil sport biru itu pun berlalu, meninggalkan Kevin sendirian. Lelaki itu menghela nafas berat, mengusap wajahnya yang terlihat jauh menua hanya dalam satu hari. Ah, belum apa-apa ia sudah berkeringat dingin. Menggotong tas berisi baju yang dimasukkannya asal saat mendengar kabar dari Marcus tadi, Kevin melangkahkan kakinya yang terasa berat menuju pintu pemeriksaan tiket.

Kevin sudah bisa membayangkan apa yang akan dihadapinya. Tapi ia benar-benar tidak tahu bagaimana mempersiapkan dirinya. Modalnya hanya nekad. Tujuannya hanya satu, membawa pulang istri dan anaknya.

---

Flashback

Popor mendudukkan diri di ruang tengah, merasakan kenyamanan di sekujur tubuhnya saat sofa empuk itu memeluknya. Lelah. Ia tak berniat melakukan apa-apa hari ini. Sudut matanya menangkap koper di sisi ruangan. Ah, nanti saja lah beres-beresnya.

'Brukk' terdengar suara keras dari arah belakang rumah. Popor refleks menoleh, mendapati suaminya sudah terlentang di gazebo dekat kolam renang. Ah, ia juga ingin menjatuhkan diri seperti itu. Andai saja Sky tidak tidur di pelukannya sekarang.

Popor mengalihkan fokusnya pada sang anak. Sky tidur sangat tenang di dadanya, tangannya menggenggam erat baju katun sang ibu, seakan berkata tak ingin berpisah. Popor menundukkan kepalanya, menciumi puncak kepala sang anak.

Sebenarnya ada apa dengan anaknya ini? Sky lebih banyak diam, tak aktif seperti biasa. Atau mungkin ia bisa merasakan hubungan orang tuanya yang sedang tidak baik? Sejak pagi bayi itu selalu ingin menempel padanya, bahkan tak mau digendong oleh Kevin. Popor ingat jelas wajah suaminya itu, sangat kecewa saat anak mereka menolaknya.

Popor menoleh kembali pada Kevin dan menghela nafasnya. Posisi lelaki itu tak berubah sejak tadi, mungkin sudah tidur. Ah, mengapa sulit sekali hanya untuk sekedar bicara padanya? Jika mereka membahas semuanya, tak perlu ada perang dingin yang menyiksa ini kan!

Sejak kejadian semalam Kevin cenderung menjauhi Popor, membuat wanita itu gemas sendiri. Tapi sejak tadi mereka memang belum mendapatkan ruang pribadi untuk bisa berbicara hati ke hati. Yah, mungkin sekarang waktunya. Popor bangkit berdiri, berniat pergi ke kamar terlebih dahulu untuk meletakkan Sky ketika suara bantingan keras di pintu depan mengagetkannya.

"Popor!" Sebuah teriakan dari ruang tamu membuat Popor tersentak.

"Papa?" Gumam Popor, sudah mengenali suara tersebut bahkan sebelum pria paruh baya itu muncul di hadapannya.

"Bereskan barang-barangmu sekarang!" Pak Sunee menerobos masuk ke ruang keluarga, masih dengan kemarahan yang begitu kentara di suaranya.

"Apa Pa? Untuk apa?" Tanya Popor bingung. Mengapa ayahnya tiba-tiba marah-marah seperti ini?

"Ikuti saja perintah Papa! Kamu ikut dengan Papa sekarang!" Sahut Pak Sunee tidak sabar. Ia menoleh pada dua orang asisten rumah tangga yang datang tergopoh-gopoh begitu mendengar keributan di ruang tengah.

EMOTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang