25 - Painful heart

1.5K 80 5
                                    

Sudah masuk hari ketiga Popor menghilang, namun ia belum juga ditemukan. Yaqiong semakin panik, selama weekend ini ia seharusnya mempersiapkan sidang akhirnya minggu depan. Tapi di sinilah ia, berkeliling sekitar kota Jakarta mencari Popor, menelusuri semua tempat yang mungkin didatangi sahabatnya itu.

"Por, lo di mana.." gumam Yaqiong menatap hujan deras yang membasahi kota Jakarta dari jendela besar di cafe favoritnya dan Popor.

"Sayang, makan dulu.. Habis ini kita cari Popor lagi," ujar Marcus lembut melihat kekasihnya tidak menyentuh makanannya.

"Aku ga lapar Nyo," sahut Yaqiong lemah.

"Qi, please.." pinta Marcus menyodorkan sendoknya ke Yaqiong, hendak menyuapkannya.

"Apa aku bilang Om Sunee aja ya," gumam Yaqiong membuang muka, kembali menatap jendela.

"Jangan!" Pekik Jonatan segera.

"Kenapa sih Jo, kemaren lo larang gue hubungin tante Niaw, sekarang Om Sunee! Lo pikir lah Jo, semakin lama Popor hilang semakin susah dicarinya! Kita harus cari bantuan!" Seru Yaqiong mulai marah.

"Lo mikir juga lah Qi efeknya! Kalau mereka tahu, Popor ga bakal punya pilihan lain!" Balas Jonatan ikut marah.

"Maksud lo?" Tanya Yaqiong mengernyitkan dahinya.

"Ya pilihan lain, selain melahirkan anak laki-laki itu," ujar Jonatan membuang muka.

"Jo, lo gila!" Teriak Yaqiong kembali marah begitu menyadari hal yang dimaksud Jonatan.

Marcus langsung memeluk Yaqiong berusaha menenangkan kekasihnya. Ia tahu kebiasaan Yaqiong, ia takut Jonatan jadi korban keanarkisan kekasihnya itu.

"Gue kira lo udah waras Jo!" Teriak Yaqiong lagi, telunjuknya menunjuk wajah Jonatan.

"Lo yang ga waras! Lo ga lihat, Popor ga menginginkan anak itu! Dia bahkan kabur karena itu! Lo mau dia lebih menderita dari sekarang?" Teriak Jonatan berang.

"Stop! Kalian apa-apaan sih! Sekarang yang penting itu Popor ketemu dulu!" Ujar Marcus menengahi.

Sementara itu, di tempat lain Popor berjalan dengan langkah gontai, di pinggir jalanan yang ramai. Ia membiarkan tubuhnya basah kuyup, diguyur derasnya hujan. Wajahnya sangat pucat, tubuhnya sudah sangat lemah, ditambah lagi menggigil hebat tertiup angin.

Shock, Popor seakan terhipnotis. Pikirannya kosong, yang dilakukannya sejak keluar dari tempat praktik dokter dua hari yang lalu hanyalah berjalan siang malam tanpa arah.

"Eh, bentar! Itu kan si Popor!" Seru Rawinda atau yang lebih akrab dipanggil View, salah satu teman kuliah Popor.

"Hah, mana?" Sahut May, yang juga teman Popor, memperlambat laju mobilnya.

"Itu, yang pakai baju putih!" Ujar View yakin, matanya terus mengamat-amati wajah wanita yang tengah berjalan ke arah mereka.

"Ah, bukan kali. Ngapain juga dia hujan-hujanan?" Sahut May masih tidak percaya.

"Coba berhenti deh," pinta View. May lalu meminggirkan mobilnya dan berhenti tepat di depan Popor. Popor hanya berdiri terdiam, menatap mobil yang menghalangi langkahnya. View langsung keluar dari mobil dengan payung dan menghampiri Popor.

"Popor! Ternyata beneran lo!" Pekik View heran, memberi kode pada May bahwa wanita itu benar-benar Popor.

"Por, lo ngapain hujan-hujanan?" Tanya View, namun kembali Popor tidak merespon apa-apa.

"Dia kenapa?" Tanya May yang baru turun. View hanya mengangkat bahunya tidak mengerti. Tiba-tiba jalanan jadi macet, riuh suara klakson kendaraan. Rupanya mobil May menghalangi jalan.

EMOTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang