Prolog

4.2K 305 30
                                    

  Pekatnya langit malam menemani Airel melangkahkan kaki, menuju sebuah rumah kontrakan kecil yang baru beberapa bulan ia tempati. Bayangan kasur empuk yang menanti setelah beraktivitas seharian sudah beterbangan di depan mata.

  Langkahnya terhenti di persimpangan jalan. Matanya menangkap beberapa orang yang terlibat perkelahian tak jauh dari tempatnya berdiri. Bukan, bukan perkelahian, itu sebuah aksi pengeroyokan.

  Kakinya melemah. Dia mundur hingga beberapa langkah, kemudian bersembunyi di balik pagar rumah orang tak dikenal.

  Tangannya bergetar. Meraih ponsel di dalam tasnya. Menekan beberapa kali layar ponselnya sebelum menempelkan benda pipih itu ke telinganya.

  "Saya... ambulan.... tolong..."

  Suaranya bergetar karena gugup dan ketakutan. Pandangannya sesekali terarah pada orang-orang yang masih melakukan aksi pengeroyokan.

  Genggaman tangannya melemah, bersamaan dengan tubuhnya yang merosot jatuh seolah tak bertulang. Matanya terpejam. Kedua tangannya menutupi telinga. Mencoba menghentikan suara-suara bising yang memenuhi pendengarannya.

  Tubuhnya mulai bergetar. Napasnya mulai memburu. Semakin dibenamkan kepalanya dalam lipatan kedua kakinya. Hingga suara sirine terdengar yang disusul raungan suara-suara motor yang menjauh.

  Setelah merasa cukup aman, Airel memberanikan diri keluar dari persembunyiannya. Setengah berlari didekatinya korban pengeroyokan yang tergeletak tak berdaya di sisi jalan.

  Tak ada orang lain di sana karena waktu memang menunjukan hampir tengah malam. Sudah dapat dipastikan semua orang telah terlelap.

  Airel mencoba mengecek keadaan korban menggunakan senter ponselnya. Beberapa luka lebam terlihat di wajahnya. Bahkan lingkaran matanya membiru dan bengkak parah. Ditambah bercak darah yang membuat keadaan pria itu terlihat semakin mengenaskan.

  Tak hanya wajah, ia pun sekilas mengamati bagian tubuh lainnya yang tak kalah mengenaskan. Entah apa masalah yang di hadapi pria itu hingga harus berakhir seperti ini.

  Sebuah mobil ambulan  menyadarkan Airel. Dibiarkannya beberapa petugas berpakaian putih itu melakukan tugasnya.

  "Anda yang menghubungi kami?" Tanya seorang petugas mengalihkan pandangan Airel dari korban yang kini telah berada di dalam mobil.
  "Ya."
  "Keadaan pasien semakin melemah."

  Seakan mengerti, Airel langsung ikut menaiki ambulan. Mengambil posisi di sebelah kiri korban yang sudah dipasangi alat vantu pernapasan oleh petugas.

  Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak sekalipun Airel memalingkan matanya dari wajah korban. Entah bagaimana, ia sendiri tak menyadari saat jemari mereka sudah saling terkait. Menggenggam erat satu sama lain.

  Walau tak begitu yakin, sepertinya senyum amat tipis terbentuk di wajah pria itu. Seakan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

  Seketika ia tersentak. Ia mengenal pria naas itu. Salah satu mahasiswa badboy di kampusnya.

¤AIREL¤

Hai haiii.....
Gue hadir lagi....

Udah dari lama pengen banget nyoba tema badboy... tertantang sendiri karena gue suka tema ini tapi blum pernah bikin cerita sendiri..

Pas idenya nongol eh kebentur ama  cerita yang belum kelar.. hihihiii...

Harap maklum kalo masih banyak kekurangannya.. masih belajar soalnya....  

Happy reading... ^^

Bangka, 07 Januari 2018

Dwi Marliza

Airel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang