Sekali lagi Airel menekan tanda dial dari ponselnya dan seketika itu pula ponsel Rival kembali berdering. Mata Airel menatap Rival penuh tanya, sementara lelaki itu masih terdiam kaku. Lagi-lagi dering ponsel Rival berganti suara operator di ponsel Airel.
Airel memandangi ponselnya dan ponsel Rival bergantian, menekan tanda dial dan mematikannya begitu ponsel Rival berbunyi. Berulang kali melakukan itu hingga benar-benar tersadar dari kebodohannya.
"Selama ini gue selalu berpikir Vano punya dua kepribadian. Bodohnya gue," ujar Airel menatap Rival pias.
"Gue nggak bermaksud untuk mempermainkan elu, Rel. Gue cuma berusaha untuk menjaga lu. Awalnya. Sampai gue ngerasa...." Rival menghentikan ucapan, seolah berpikir untuk lanjut menjelaskan atau tidak.
"Jatuh cinta sama lu."
Airel terpaku di tempat. Tak pernah sedikit pun terlintas dalam pikirannya akan mendengar pengakuan Rival.
Waktu seperti berjalan mundur, menampilkan kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan Vano, yang seketika beralih menjadi sosok Rival.
"Gue rasa, gue jatuh cinta ama lu."
Airel memutar tubuhnya, menyembunyikan rona merah di wajahnya tiap kali mengingat kata-kata itu.
Seharusnya Airel marah, bukan? Rival tak berbeda dengan Melan yang memanfaatkan keadaan. Namun mengapa dia justru merasa sangat lega?
Dering ponsel Rival memecahkan keheningan.
"Ya?" Rival menjawab panggilannya.
"Val, Bunda...."
"Gue ke sana sekarang."
Rival memutuskan telepon. Kakinya mendekati Airel yang kini sudah menghadapnya.
"Kita omongin lagi nanti. Jangan lupa kunci pintu," ujar Rival seraya mengusap rambut Airel.
Airel hanya mengikuti Rival dengan matanya, hingga hilang di balik tembok. Samar, suara pintu tertutup terdengar.
Tak lama berselang, suara ketukan pintu seakan menyadarkan Airel. Bagai orang bingung, Airel mengamati dapurnya sebelum bergegas menuju pintu depan yang terus diketuk dari luar. Mata Airel membesar mendapati Taufan berdiri di balik pintu.
"Hai, Airel."
Airel melangkah mundur. Bukan untuk mempersilakan tamunya masuk, namun untuk melindungi diri. Beberapa pemuda yang sering dilihatnya duduk di pos gardu ujung gang ikut memasuki rumahnya.
"Habisin!" perintah Taufan.
Airel memekik saat menit berikutnya sofa dan meja sudah tak lagi tersusun rapi. Tak hanya ruang tamu, dapur dan kamarnya pun mengalami nasib serupa. Beberapa kali dicobanya untuk menghalangi para pemuda asing itu kembali memporakporandakan isi rumahnya, hingga seseorang berhasil menyekap dirinya dari belakang. Perlahan pandangan Airel mulai mengabur hingga akhirnya gelap sama sekali.
°AIREL°
Rival semakin cepat melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap.Juna sempat mengirimkan pesan singkat saat Rival dalam perjalanan menuju rumah sahabatnya itu. Untungnya dia belum terlalu jauh, hingga taksi yang ditumpanginya langsung berputar arah menuju rumah sakit.
Perlahan Rival memasuki kamar 304. Di dalam ruangan serba putih itu tampak olehnya Juna duduk dengan menundukkan kepala di samping brangkar yang diisi oleh wanita paruh baya yang dikenal baik oleh Rival.
Mata wanita itu terpejam sementara hidungnya masih tertutup masker oksigen. Punggung tangannya pun tertancap jarum infus. Dari monitor di sampingnya, Rival tau kondisi wanita itu cukup stabil.
Wanita itu, Naira, ibunya Juna yang mengidap kanker di dalam rahimnya. Beberapa tahun yang lalu, setelah mengetahui penyakit istrinya, Surya -- ayah Juna-- pergi meninggalkan keduanya tanpa kabar.
"Ayah pulang saat kamu jadi sarjana nanti."
Itu yang selalu diucapkan Naira pada Juna, tiap kali bertanya mengenai Surya.
Sejak itu Naira bekerja keras untuk menghidupi dan membiayai kuliah Juna. Beruntung Juna bersahabat dengan Rival dan Vano yang selalu siaga membantunya.
Juna yang mengetahui keberadaan Rival, dengan segera mengangkat kepalanya. Senyumnya tercetak tipis di wajah lelah itu. Dengan gerakan isyarat, Juna meminta Rival untuk mengikutinya.
"Gimana keadaan Bunda?"
Rival memang biasa memanggil Ibu Juna dengan sebutan Bunda, sebutan yang bahkan diikuti oleh Juna.
"Kata Dokter, Bunda harus segera dioperasi."
Rival menarik napas dalam. Bayangan wanita yang sudah seperti ibu kandungnya itu berada di dalam ruang operasi membuat Rival terhenyak. Namun dirinya tak bisa melakukan apa-apa selain menyetujui saran dari dokter.
"Vano udah tau?"
Juna menggelengkan pelan. Dibanding Vano, Juna memang lebih dekat dengan Rival. Kalau bukan karena Rival, Juna tak akan pernah mau menemani Vano ke club, bahkan tak jarang pulang dengan kondisi tubuh bau minuman keras atau wajah sedikit memar karena menghalau Vano yang akan berkelahi dalam kondisi mabuk.
"Biar gue yang urus."
"Biayanya nggak sedikit, Val. Tabungan gue nggak cukup. Belum lagi biaya perawatan pasca...."
"Lu nggak usah pusing mikirin biaya. Lu cukup tandatangani surat persetujuan aja. Kita bisa gantian jaga Bunda."
Juna menghela napas berat.
"Makasih, Val. Udah banyak banget hutang gue ama lu."
Rival menepuk bahu Juna pelan.
"Lu bisa bayar pake persahabatan. Nggak usah nawar, karena gue nggak nyediain diskonan."
Juna tersenyum lebih lebar. Paling tidak dirinya sudah tak perlu khawatir dengan biaya pengobatan ibunya.
"Gue urus administrasi Bunda dulu."
Rival berjalan menuju ruang administrasi. Namun kembali membalikkan badan saat Juna memanggilnya.
"Gue tau siapa orang itu. Kali ini gue yakin nggak akan salah."
Rival menyipitkan mata, mengancam lewat tatapannya jika kali ini Juna salah orang seperti sebelumnya.
"Si Cewek Bego."
°AIREL°
TBC
Menjelang part akhir.
Makasih udah mendukung Airel hingga sejauh ini. Walau masih sedikit yang baca, aku tetap senang.
Jangan lupa klik ⭐ya...
Bangka, 09.10.18
![](https://img.wattpad.com/cover/134335709-288-k178901.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Airel (Proses Revisi)
RomanceSebagian bab dihapus untuk revisi. "Anjing!" Makian terdengar bersamaan dengan menjauhnya tubuh Airel dari korban keberingasan lelaki itu. "Mau jadi jagoan lu?!" "Dia bisa mati!" "Gue emang mau bunuh dia!!" Seringan kapas, tubuh Airel dibuat ter...