Airel || 25

1.3K 165 5
                                    


Airel heran mendapati Taufan berdiri tak jauh dari pintu masuk kafe. Aisyah yang berada di sampingnya beberapa kali bertukar pandang pada lelaki asing itu dan Airel.

"Hai," sapa Taufan yang dijawab Airel dengan anggukan kecil. "Pulang bareng yuk."

Airel sesaat melempar pandang pada Aisyah yang terus menyenggol lengannya.

"Yuk," ajak Taufan lagi, kali ini seraya menggapai tangan Airel yang langsung ditarik pemiliknya.

"Gue udah janjian sama temen," tolak Airel seraya menunjuk Aisyah.

"Nggak apa-apa kok, Rel. Mungkin teman lu itu ada perlu," sela Aisyah membuat Taufan tertawa kecil, sementara Airel menepuk keningnya pelan.

"Tuh temen lu udah kasih izin. Yuk."

Airel tersenyum meringis. Di sampingnya Aisyah terus mendorongnya untuk dekat dengan Taufan.

"Gue duluan ya, Rel," pamit Aisyah seraya melambaikan tangan.

Pasrah, Airel membiarkan Aisyah pergi dengan motornya.

"Gue cuma mau nganter lu pulang doang kok, Rel. Nggak lebih."

Airel kembali menggigit ujung bibirnya. Bunyi ponsel terdengar dari sakunya.

Vano calling

"Hallo, Van," ujar Airel setelah mengusap layarnya.

"Masih di kafe?"

"Lu mau jemput gue? Ya udah gue tunggu. Jangan lama, nanti gue diculik orang hehehe."

Airel langsung memutuskan sambungan telepon. Sengaja memasang wajah menyesalnya di hadapan Taufan.

"Kayaknya lu nggak bisa nganter gue deh. Temen gue udah setengah jalan ke sini. Sorry."

"Gue tunggu sampai temen lu datang deh."

Airel mengendikkan bahu lalu memalingkan mata agar tak berhadapan dengan Taufan yang tak melepaskan pandangan darinya.

Berkali-kali Airel melirik arlojinya. Sudah lebih dari lima menit namun Vano belum juga tiba.

"Kayaknya temen lu nggak jadi dat...."

Pandangan keduanya beralih pada seseorang yang berlari dari jalan raya. Tanpa ragu, Airel menghampiri orang itu.

"Rival? Lu...."

"Ban mobil gue bocor. Lu nggak apa-apa kan?" tanya Rival dengan napas terengah-engah. "Mana orangnya?"

"Apa?"

"Yang mau nyulik elu?"

Rival mengedarkan mata yang berhenti tepat pada Taufan. Masih dengan napas terengah-engah, dilangkahkan kakinya mendekati lelaki itu. Tanpa bisa dicegah, Rival langsung melayangkan tinju. Taufan yang tak siap dengan serangan dadakan itu jatuh terduduk.

"Rival!!"


°AIREL°


Sepanjang perjalanan pulang, tak ada kata yang terucap antara Rival dan Airel. Walau sudah meminta maaf pada Taufan, Airel masih tetap memasang aksi diam pada Rival. Bahkan hingga mereka tiba di rumah gadis itu.

"Lu masih marah?" tanya Rival memecahkan kesunyian saat Airel membuka pintu rumahnya.

"Nggak."

"Bohong."

Airel membalikkan badan dan menatap Rival.

"Harus berapa kali gue bilang, gue nggak suka lihat orang berantem. Gue juga udah pernah bilang sama lu, nggak semua masalah harus selesai dengan keributan kan? Apa masih kurang jelas?!"

"Gue tau gue salah. Gue juga udah minta maaf kan?"

"Nggak semua masalah bisa selesai dengan kata maaf, Rival."

"Paling nggak gue nggak kayak lu, melarikan diri dari masalah."

Airel menelan salivanya, terkejut dengan ucapan Rival. Seketika dibalikan badannya, menghadap pintu yang masih tertutup.

"Gue nggak melarikan diri dari apapun."

"Termasuk keluarga lu?"

Tubuh Airel menegang. Tangannya yang hendak menekan handel pintu terhenti.

"Nyokap lu udah cerita semuanya."

Tubuh Airel mendadak lemas. Dengan sigap Rival menangkapnya sebelum benar-benar jatuh. Dibantunya Airel masuk ke dalam rumah dan mendudukkan Airel di sofa ruang tamu.

"Rel," panggil Rival pelan.

"Kapan.. Lu ketemu nyokap gue?" tanya Airel dengan tatapan kosong.

"Malam ini, sebelum jemput lu."

"Apa.... katanya?"

Rival menelan salivanya, menatap mata Airel yang kini terarah padanya, berkaca-kaca. Sepertinya dia harus mengingkari janji untuk merahasiakan pertemuan itu dari Airel.

"Beliau cerita banyak hal. Tentang masa kecil lu, lu yang suka maksain anak-anak cowok buat main boneka, lu yang manja banget ama almarhum bokap lu, lu yang...." Rival menanggalkan ucapannya.

"Kabur dari rumah karena disiksa dan hampir diperkosa bokap tiri gue. Nyokap cerita itu juga kan?"

Rival tak menjawab. Hanya matanya yang menatap wajah Airel yang mulai dialiri airmata sebelum gadis itu menutupi dengan kedua tangan, menahan isaknya. Ditariknya Airel dalam peluknya, mengusap punggung gadis itu untuk menenangkan. Dadanya terasa sesak tiap kali mendengar isakan Airel.

Hampir tiga puluh menit keduanya tetap pada posisinya. Setelah dirasa cukup tenang, Rival melepaskan peluknya, membiarkan Airel mengusap wajahnya yang terlihat kucel.

"Makasih."

Rival mengacak rambut Airel pelan. Airel yang masih mengusap sisa-sisa airmatanya melangkah ke dapur, diikuti Rival di belakangnya.

"Lu mau gue masakin mie instan?" tanya Airel seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Rival menggeleng pelan, mengambil secangkir air putih yang disodorkannya pada Airel.

"Belanjaan lu kemaren masih banyak nih," ujarnya lagi seraya membuka kulkas. "Lu mau...."

"Gue mau jadi bodyguard lu."

Airel menoleh sekilas dan tersenyum.

"Izinin gue jadi bodyguard lu," ulang Rival tegas.

"Gue masih bisa jaga diri, Val. Lu jadi bodyguard Melan aja," tolak Airel geli. "Lagian ada Vano... Astaga!"

Airel menutup kulkas dan mengambil ponsel dalam saku celananya, mencari kontak Vano sebelum menekan tanda dial. Seketika suara ponsel lain terdengar. Rival merogoh sakunya dan terdiam memandangi layar ponsel hingga deringnya terhenti, berganti dengan suara operator dari ponsel Airel. 
 

 
°AIREL°

TBC

 

Airel bakal aku tamatin beberapa part lagi ya..

Ohh iya aku juga mau kasih tau kalau ceritaku yang Prince of my dream akan aku publish ulang dengan versi baru. Tepatnya kapan aku belum tau, karena aku masih nyicil nge-remakenya.

Aku minta kalian bantu doa ya, biar semuanya lancar dan bisa publish cerita baru lagi hehehe....

Jangan lupa klik ⭐

 
Bangka, 07.10.18

 
Salam sayang,

Dwi Marliza

Airel (Proses Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang