Sudah seminggu Melan menjauhi Airel. Setiap kali selesai kelas Melan langsung pergi tanpa menyahuti ataupun menoleh saat Airel memanggilnya. Bahkan sepertinya ia sengaja memasuki kelas bersamaan dengan dosen.
Airel mendengkus kesal. Ia tak mengerti apa yang terjadi pada Melan. Setiap kali ingin meminta penjelasan gadis itu selalu saja menghindar. Ia hanya bisa melihat punggung sahabatnya itu berjalan menjauh.
Lagi-lagi selama seminggu ini ia makan sendirian di kantin. Rasa iri menyergap tiap kali beberapa gerombolan lain tertawa bersama di sekitarnya. Ia benar-benar merasa kehilangan.
"Lemes amat lu, kenapa?"
Airel menggeleng pelan saat Aisyah menyenggol lengannya. Selama seminggu pula konsentrasi kerjanya sedikit terganggu.
"Udah baikan ama Melan?"
Airel menatap Aisyah sesaat. Sebelum kemudian menggelengkan kepala sekali lagi. Ia memang sempat bercerita pada Aisyah tentang perubahan Melan, beberapa hari yang lalu.
"Hm... apa harus gue yang ngomong?"
"Nggak usah," jawab Airel cepat. Lalu menghela napas pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Biar besok gue coba lagi ngomong ama dia."
"Oke. Kalau perlu bantuan lu ngomong aja. Pasti gue bantu kok."
Airel mengangguk sambil tersenyum. Melan dan Aisyah memang sudah saling mengenal. Keduanya sering bertemu dan mengobrol bila Melan berkunjung ke kafe. Karena itu pula Airel berani bercerita tentang sikap Melan yang mendadak berubah.
Suara bel di pintu kafe berbunyi, tanda ada pengunjung datang. Suasana kafe yang tak begitu ramai malam ini dimanfaatkan setiap pegawai untuk bersantai sejenak.
Mata Airel membesar dan seketika membalikkan badan begitu melihat pengunjung yang baru saja masuk. Sementara Aisyah mengguncang lengannya dengan kuat.
"Ya Allah, Rel. Ganteng banget tuh cowok," bisik Aisyah tanpa henti.
"Ya udah, lu layanin sana."
"Gue malu."
Airel memutar bola matanya malas. Aisyah memang lemah mata bila berhadapan dengan orang-orang yang ---menurutnya--- memiliki tingkat ketampanan di atas rata-rata. Tak peduli orang itu bersama pasangan atau tidak, wajah gadis itu akan selalu merona.
"Lu aja gih."
Airel sedikit mengintip ke belakang. Rival -pengunjung yang baru datang itu- duduk di meja paling pojok dekat jendela. Cepat-cepat ia berpaling.
"Dia manggil, Rel!"
"Ya udah, buruan sana."
"Lu aja ah. Gue malu."
Airel berdecak kesal. Tak ada pilihan lain, dia harus menghampiri meja itu sebelum Mbak Berta melihat kelakuan mereka. Sekali lagi Airel menghela napas sebelum melangkahkan kaki. Aisyah yang berdiri di belakang meja kasir ikut menyaksikan setiap gerak geriknya.
"Selamat datang. Ada yang bisa...." Airel menahan napas saat pria itu menoleh padanya. "Dibantu?"
Diam-diam Airel ikut memperhatikan diri karena Rival seperti meneliti dirinya lalu mengamati seisi kafe. Tak ada yang salah dengannya. Airel memakai seragamnya dengan rapi. Tak ada kotoran apapun yang menempel di tubuhnya. Ia juga ingat tak memakai riasan yang mencolok di wajahnya, hanya bedak bayi dan pelembab bibir.
"Lu kerja di sini?"
Pertanyaan pertama Rival hanya dijawab dengan anggukan pelan. Cukup lama Rival mengamati buku menu dan dirinya secara bergantian. Sebelum Airel kehilangan kesabarannya pria itu menyampaikan pesanannya. Seperti biasa, Airel menulis pesanan itu pada buku kecilnya dan kembali ke meja kasir setelah meminta untuk menunggu sebentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Airel (Proses Revisi)
RomanceSebagian bab dihapus untuk revisi. "Anjing!" Makian terdengar bersamaan dengan menjauhnya tubuh Airel dari korban keberingasan lelaki itu. "Mau jadi jagoan lu?!" "Dia bisa mati!" "Gue emang mau bunuh dia!!" Seringan kapas, tubuh Airel dibuat ter...