Perempuan berjubah hitam itu berkali-kali menekan keningnya di sepanjang jalan. Sampai-sampai tak terhitung jumlahnya berapa kali ia menabrak tubuh orang asing yang lalu-lalang. Dimaki secara mentah-mentah, namun telinganya bak ditutup oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan wanita sialan itu, wanita yang baru saja ditemuinya hingga membuatnya runyam. Pikirannya kalut. Kelewat kalut.Taeyeon bahkan tidak sadar kalau dirinya baru saja tiba di depan sekolah Yeonji. Kedua netra coklatnya menangkap seorang paruh baya yang tengah bermain dengan putri kecilnya. Disipitkannya kedua kelopak mata itu untuk memperjelas siapa sosok wanita paruh baya yang tampak begitu akrab dengan Yeonji. Begitu familiar. Siapa dia?
Perempuan itu melangkah lebih dekat, kemudian langkah gontainya berhenti saat berada di delat mereka. Taeyeon agaknya mengerjap dan terkesiap secara bersamaan. Rasa takut itu kembali menyerangnya. Raut wajahnya menunjukan rasa tak senang begitu mengetahui siapa sosok wanita itu.
Taeyeon memekik nama putrinya saat jarak antara mereka sudah dijangkau, "Yeonji-ya!"
Putri cilik itu lekas menoleh.
"Eomma!" Yeonji menyahut dengan girang, "Halmeoni, ibuku sudah datang." Yeonji memamerkan presensi ibunya pada wanita paruh baya yang baru saja ia temui.
Taeyeon menarik tubuh mungil Yeonji, menjauhkan putrinya dari wanita yang kulitnya tampak sedikit mengeriput di hadapannya, lantas mentapnya tajam seakan meminta penjelasan. Di waktu yang sama, Yeonji terlihat meringis kesakitan begitu ibunya menarik tubuh kecilnya dengan paksa—menjauh dari wanita yang baru saja ia anggap seperti neneknya sendiri. Seakan-akan mengerti arti raut wajah ibunya itu, kalau Taeyeon tidak menyukai saat melihat Yeonji dekat dengan orang asing. Yeonji menjelaskan, "dia neneknya Jihye, Eomma."
Taeyeon tak mengindahkan kalimat yang Yeonji lontarkan. Tanpa Yeonji mengenalkan presensi Mrs. Kwon pun Taeyeon sudah mengenalnya. Mereka sama. Dia sama saja seperti wanita yang baru saja Taeyeon temui. Mereka bersengkokol. Sepihak. Sama-sama ingin merusak kebagiaan Taeyeon. Yang membedakan hanya cara mereka. Yang satunya tak tahu malu secara blak-blakan ingin merebut hak asuh Yeonji. Dan yang satunya adalah seorang pengecut, mengancam Taeyeon melalui pesan singkat yang dikirim ke ponselnya.
"Benar yang dikatakan Yeonji. Aku neneknya Jihye."
"Benar, kan, Eomma. Nenek Kwon datang kemari karena ingin mengunjungi sekolah Jihye sekaligus mengobati rasa rindu padanya. Nenek Kwon bilang, Yeonji boleh datang ke rumahnya kalau rindu sama Jihye. Di sana Yeonji boleh bermain bersama mainan Jihye. Nenek Kwon sengaja menyimpannya dan tidak membuangnya."
Taeyeon pikir, ini adalah cara mereka untuk membawa Yeonji ke rumah mereka. Bagaimana bisa mereka bersikukuh mengambil Yeonji dari Taeyeon setelah mengancamnya pergi jauh-jauh dari hadapan mereka?
"Tapi, Nona, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
"Anda benar. Kita pernah bertemu sebelumnya. Di bandara. Beberapa tahun silam."
Nyonya Kwon merotasikan bola matanya. Ia mencoba mengingat siapa wanita di depannya. Beberapa detik setelah ia mengingat siapa perempuan ini, ia kembali menatap Taeyeon. Seolah mengerti arti tatapan —tak suka— yang Taeyeon berikan lantaran kejadian beberapa tahun silam di bandara— dimana Nyonya Kwon menampar Taeyeon karena membuat putranya nyaris gagal terbang ke luar negeri. Oh, astaga. Gumam Nonya Kwon setelah mengingat apa yang telah ia lakukan pada Taeyeon.
Iya benar. Aku adalah wanita itu. Wanita yang anda tampar saat itu. Miris sekali, bukan?
Taeyeon melihat bagaimana raut keterkejutan Nyonya Kwon, "Wae, ahjumeoni? Anda teringat sesuatu?"
Taeyeon sengaja memancing dengan pertanyaannya. Sangat teramat mustahil kalau wanita tua ini tidak mengingat Taeyeon. Wanita tua ini bahkan yang memberi ancaman pada Taeyeon, jadi tidak mungkin wanita ini lupa pada Taeyeon. Pikir Taeyeon.
Nyonya Kwon menarik telapak tangan Taeyeon dengan kedua tangannya, seolah ia benar-benar menyesal dengan insiden di bandara beberapa tahun silam "Oh, itu...." Nyonya Kwon sedikit terperanjat saat Taeyeon menarik tangannya kembali dengan cekat.
"Tolong maafkan aku. Wanita tua ini pasti hilang kendali sampai memperlakukanmu kasar kala itu. Karena jadwal penerbangan pesawat begitu mepet, aku jadi tak sempat meminta maaf padamu. Tapi percayalah. Sepanjang perjalanan aku merasa tak tenang. Aku sungguh menyesal."
Nyonya Kwon hendak membungkukkan setengah badannya dan berharap, melalui ini Taeyeon segera memaafkannya. Tapi, percayalah, Taeyeon bukanlah seorang yang keji menyuruh orang lain bertekuk lutut di depannya agar orang tesebut kapok. Dari lubuk hati yang terdalam, Taeyeon merasa, orang yang berdiri di depan orang yang tengah bertekuk lutut dan bersujud, mereka sama-sama rendahnya. Tidak ada otaknya.
Taeyeon menahan bahu Nyonya Kwon yang nyaris membungkuk sempurna. "Oh, tidak. Anda tidak perlu berbuat sampai sejauh ini, Nyonya. Aku tidak mengharapkan anda bertindak sampai sejauh ini. Aku memang salah saat itu. Tapi, setidaknya tolong hentikan ancaman-ancaman yang tidak berguna yang anda tujukan padaku."
Nyonya itu menatap Taeyeon penuh keheranan. Kedua alisnya berkerut.
"Apa maksudmu, Nona? Aku tidak mengerti tentang ancaman yang kau maksud. Memang dulu aku pernah menaparmu, tapi percayalah,
Itu bukan berarti aku membencimu. Aku hanya merasa cemas dan kehilangan kendali saat itu."Setelah sekian lama bersembunyi dengan ancaman yang belum jelas pengirimnya, Taeyeon akhirnya memastikan ancaman tersebut pada Nyonya Kwon, yang Taeyeon pikir adalah pelakunya. Tapi, setelah mendengar pernyataan Nyonya Kwon, Taeyeon jadi ragu apakah benar ancaman tersebut dari Nyonya Kwon. Tentu saja, ancaman yang menyatakan nyawa Yeonji dalam bahaya itu membuat Taeyeon cemas setengah mati.
Lantas, kalau bukan Nyonya Kwon siapa lagi pelakunya? Mendadak Taeyeon mengingat satu orang lagi. Kiko termasuk di dalamnya. Orang yang baru saja ia temui sebelum pergi kemari menjemput Yeonji. Yang menyatakan akan membawa Yeonji atas dasar kemauan Nyonya Kwon. Lalu apa bedanya? Bukankah mereka bekerjasama dalam hal ini?
Oh, ini tidak baik. Ini benar-benar buruk bagi Taeyeon. Kalau begini caranya, mungkin Taeyeon akan kalah. Lalu, apakah Jiyong memihak mereka?
Kedua kaki yang Taeyeon gunakan untuk menahan tubuhnya mendadak lemas. Kepalanya begitu penat memikirkan masa depan yang nyaris membuatnya sengsara akan mereka yang merencanakan sesuatu untuk mengambil Yeonji darinya. Setelah mereka merebut orang terkasih Taeyeon, haruskah mereka juga membawa putri kesayangannya pergi darinya? Taeyeon tidak pernah secemas ini ketika membayangkan hal tersebut. Pikirannya kacau. Kepalanya berkedut. Penglihatanya mulai samar. Mungkin, setelah ini akan menjadi kesempatan terakhir bagi Taeyeon menikmati senyum Yeonji.
[tbc]
#03.02.2018
#30.10.2018
KAMU SEDANG MEMBACA
the daughter | gtae.
Fanfiction(Cerita sudah tamat) Dari lubuk hati yang paling dalam, pria tersebut masih menginginkan kehadirannya.