24

1.3K 248 20
                                    

Kalau Kim Taeyeon memiliki seorang ibu, dia mungkin akan  bersandar padanya sambil mengeluh kesah dengan segala ketidakadilan yang ia dapat. Namun agaknya, semua kenyataan belum berpihak padanya. Kalau Tuhan belum mengizinkan untuk tahu keberadaan ibunya—yang tidak tahu sama sekali apakah masih hidup atau hanya tinggal nama di dunia ini— demi kebaikan Taeyeon, lebih baik ia hidup seperti ini. Bersama Yeonji sudah cukup membuatnya bahagia, batinnya.

Taeyeon menghela napas setelah tangannya menarik selimut untuk Yeonji yang telah terlelap semenjak beberapa menit yang lalu. Sembari duduk di sebelah ranjang, tangannya mengelus-elus pelan di pencak kepala Yeonji. Dalam hati Taeyeon tidak pernah berhenti menyesali kegagalannya menjadi seorang ibu saat menyelami luka lebam di sekujur tubuh dan wajahnya yang membiru. Taeyeon terus mengutuk dirinya.

Didetik berikutnya, Kepala Taeyeon menoleh ke arah pintu yang baru saja digeser, menampakan seorang pria yang tadi mengantarnya kemari, ke rumah sakit.

"Aku baru saja membeli pakaian untukmu," ujar Jiyong, lantas ia duduk di atas sisi ranjang. "Aku merusak pakaianmu sebelumnya."

Oh, ya. Taeyeon nyaris lupa kalau outer Jiyong masih ia pakai.

"Gantilah dengan yang ini." Jiyong menyodorkan paper bag kepada Taeyeon.

"Aku akan ganti nanti," sahutnya, kemudian fokusnya teralihkan kepada Yeonji lagi.

"Apa yang dokter katakan mengenai Yeonji?" Tanya Jiyong setelah beberapa detik mereka saling menciptakan keheningan. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar sebelum Jiyong meloloskan pertanyaan tadi.

"Dokter bilang, memar di tubuh Yeonji tidak terlalu serius. Tapi, kemungkinan besar keadaan psikisnya sedikit terganggu. Dokter sedang mencarikan psikiater anak untuknya."

Jiyong mengangguk samar. "Aku mengerti. Jiwanya sudah pasti terguncang. Yeonji masih kecil. Tidak sepantasnya anak kecil mendapat perlakuan buruk apalagi kekerasan dari orang dewasa. Kau tahu, seekor anjing pun tidak akan pernah membiarkan manusia menyakiti anaknya. Di luar nalar manusia, perlakuan Kiko adalah yang paling buruk."

Taeyeon menunduk dalam. Ia tengah berusaha menyembunyikan air matanya yang nyaris keluar. Dan beberapa saat kemudian, ia mendongak kembali. "Apa rencanamu selanjutnya, Ji?"

"Maksudmu Kiko? Membuatnya menerima akibat dari kesalahan yang telah ia perbuat, sudah jelas."

"Kau akan tetap menuntut Kiko ke pengadilan?"

Melihat Jiyong yang mengangguk sebagai pertanda jawaban, mendadak Taeyeon sedikit tidak tega ketika harus menghukum wanita itu. Hati kecilnya sebagai sesama wanita tentunya sedikit tergerak. "Bagaimana kalau kita biarkan saja? Yang penting Yeonji sudah aman di sini. Aku berani bertaruh, aku akan menghabiskan sisa waktuku hanya untuk melindungi Yeonji. Selain itu aku sangat yakin, dia pasti malu setengah mati setelah apa yang ia lakukan tertangkap oleh kita. Dia mungkin tidak akan berani bertindak seperti tadi lagi." Wajah Taeyeon mendongak memohon kepada Jiyong yang duduk di sisi ranjang.

Jiyong menggeleng. "Tidak. Seorang ayah mana yang tega membiarkan orang yang menyakiti putrinya masih bisa hidup dengan baik? Aku ayah Yeonji. Kita orang tua kandung Yeonji. Kita berhak menuntutnya, Taeyeon. Kau berhak menuntutnya. Di sana, namamu yang akan tercantum sebagai penggugat supaya semuanya terlihat jauh lebih realistis. Kalau dia melawan dengan cara menuduhmu berselingkuh denganku, tenang saja, kau aman di sini. Kau tidak akan bersalah dalam hal ini. Aku akan menjadi saksi untukmu. Pecayalah padaku. Oh, tidak. Kau memang harus percaya."

Well, Jiyong sudah membuat skenario seolah-olah Jiyong yang terobsesi kepada Taeyeon untuk berjaga-jaga kalau wanita itu melawan. Dia yang menginginkan bahkan memaksa Taeyeon demi melindungi dua wanita kesayangannya. Dan, ini sebenarnya amat mengganggu pikiran Taeyeon selama setelah kejadian tadi. Ini adalah salah satu Taeyeon takut kepada perempuan itu.

"Bagaimana dengan keluargamu? Keluarganya? Dengan ini, kau baru saja menyatakan perang antara keluargamu dan keluarganya."

"Lagian, keputusanku sudah bulat. Setelah ini, aku akan menceraikannya dan," kalimat Jiyong terputus. Tiba-tiba ia menyelami wajah Taeyeon dengan sungguh-sunggu. "Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku di masa lalu. Tanggung jawab yang sudah seharusnya kulakukan sejak dulu."

"Maksudmu?" Kening Taeyeon berkerut.

"Menikahimu, menafkai keluarga kecilku, menjadi seorang ayah yang baik untuk Yeonji dan juga .., untuk anak-anakku dimasa yang akan datang."

Taeyeon mendadak diam di tempat. Tubuhnya tiba-tiba stagnan tidak bisa digerakkan. Dadanya mendesir hebat dalam diam. Mereka yang masih saling bertatapan mungkin akan terbawa ke dalam situasi bahaya kalau saja Taeyeon tidak memalingkan wajah dan lekas meloloskan kalimat jenaka.

"Hei, sejauh ini kau sudah banyak berkorban untuk kami. Jadi, jangan pernah merasa bersalah lagi, huh?"

"Ini bukan hanya perasaan bersalah saja, Taeng. Entah apa yang aku rasakan. Yang jelas, ini lebih dari rasa ingin memiliki dan bukan sekadar rasa ingin hidup bersama. Tapi, ini adalah tentang bagaimana diriku ingin ada di hidupmu dan sebaliknya. Mari kita menikah. Hidup bersama sampai menjadi kakek nenek. Mengasuh anak kita bahkan cucu dan cicit kita." Jiyong semakin menatap wanitanya intens. Bahkan saat ini, jemarinya sudah meraih jemari Taeyeon. Menggenggamnya dan memberikan tatapan paling hangat.

Taeyeon sendiri mendadak linglung. Ini terlalu tiba-tiba sementara ia tidak pernah menduga kalau Jiyong akan meloloskan kalimat sehangat dan semendebar ini. Ini jelas tidak bagus untuk kesehatan jantung Taeyeon yang nyaris melompat dari tempatnya. Ia bahkan tidak sempat menyiapkan jawaban yang pantas untuk Jiyong dengar atau setidaknya tidak membuat perasaan Jiyong tersinggung. Taeyeon belum siap. "A-aku akan mengganti pakaianku. Tolong jaga Yeonji sebentar." Kalimatnya bahkan terdengar terbata-bata. Ia kelewat canggung sampai-sampai menunjukan kesalahtingkahannya.

😍

🎬 04.01.2018

the daughter | gtae.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang