Berawal dari Ceroboh

35.2K 552 3
                                    

Semakin lama, perasaanku semakin jatuh kedalam palung cintanya. Begitu sesak memendamnya, sekarang di lab ini hanya ada kami berdua. Ia sedang berdiri menatap keluar jendela, dari belakang sangat jelas begitu gagahnya guruku itu, cahaya matahari membuatnya semakin mempesona, tanpa ku sadari sekarang aku telah mendekapnya dari belakang.

"Aku... Menyukaimu Pak guru"

'Byuuuurrr'

Aku terbangun dari tidurku karena Ibu menyiram wajahku dengan segelas air.

"Bangun, Sinta ! Mentang hari minggu jangan molor sampe siang, dong."

"Iya, Ma..." Aku beranjak dari tempat tidur dengan lesu. Oh, yang tadi itu cuma mimpi ternyata. Lagipula aku tidak mungkin menyatakan perasaanku ini, pasti akibatnya aku tidak bisa dekat dengannya lagi.

Setiap minggu pagi aku biasa berolahraga. Selain membuat tubuh sehat tentu untuk menjaga keindahan tubuhku. Ku pakai celana pendek bewarna putih di atas lutut serta kaos hitam yang berbahan menyerap keringat. Tidak lupa earphone untuk menambah semangatku.

***

Aku berlari memutari taman tengah kota. Begitu ramainya orang yang berolahraga di minggu pagi yang segar ini. Banyak lelaki tua maupun muda menggodaku. Namun tidak kugubris sama sekali. Tujuanku jogging, bukan untuk digoda. Ku pasang earphone dengan musik keras. Agar aku tidak mendengar godaan yang mereka ucapkan.

Sepertinya aku sudah mulai lelah. Keringatku sudah bercucuran. Sambil jogging Aku menoleh melihat pedagang minuman. Sepertinya aku harus minum dulu.

'Brukkk'

Aku bertabrakan dengan seorang pria hingga terjatuh. Lagi lagi kakiku terluka. Tapi pria itu langsung bangkit sendiri dan langsung kembali berlari sambil mengucapkan maaf.

Sialan ! Tolong dulu kek, malah langsung lari begitu saja. Sepertinya kakiku keseleo lagi. Huh ?!

Tiba - tiba ada uluran tangan didepanku. Aku mendongak dan sedikit terkejut.

"Pak Guru ?"

"Dasar ceroboh. Baru beberapa hari yang lalu kamu jatuh, sekarang jatuh lagi ?" ucap Pak Santo sambil membantuku berdiri.

"Siapa juga yang mau jatuh, Pak !" ucapku kesal, lalu aku melepaskan pegangannya dan berjalan tertatih - tatih menahan sakit menuju bangku terdekat di taman itu.
Aku kesal sekali. Orang kesakitan malah bilang begitu.

Pak Santo menghampiri dan duduk disampingku. Tapi aku hanya diam sambil memijit pelan kakiku karena masih kesal padanya.

"Sakit, ya?"

"Rasanya gatal." jawabku cuek.

"Haha, ayolah kamu jangan ngambek begitu." aku hanya diam sambil menyibirkan bibir.

"Apartemenku didekat sini, ayo kita kesana biar ku obati lukamu itu, lalu akan ku antar pulang nanti." Aku masih diam.

"Mau atau tidak, Sinta ?"

Aku berpikir susah juga pulang sendirian dengan keadaan kakiku yang sakit seperti ini. Rumahku pun letaknya agak jauh. Akhirnya aku menyetujui tawarannya.

Sepanjang jalan ia membantuku dengan merangkulkan tanganku di pundaknya serta tangannya memeluk pinggangku. Sambil tertatih sesekali kulihat wajahnya.

Rambutnya yang biasa disisir kebelakang, memakai kemeja dan celana dasar serta berkacamata disekolah kini berubah menjadi lelaki yang macho. Rambutnya disisir ke atas dengan baju kaos putih polos serta memakai celana hitam pendek tanpa kacamata.

Perasaanku pun semakin menjadi - jadi, namun aku sadar bahwa ini hanya keperdulian guru terhadap muridnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perasaanku pun semakin menjadi - jadi, namun aku sadar bahwa ini hanya keperdulian guru terhadap muridnya. Tak lebih dari itu.

Tanpa terasa kami sudah sampai di apartemen Pak guru. Rumahnya terkesan dewasa dan amat rapi. Ruang tamu nya pun sangat elegan menurutku. Kulihat ia kembali dengan membawa kotak p3k.

Kini aku duduk di sofa sedangkan pak guru duduk dilantai dengan hati - hati mengobati lukaku. Semakin dilarang perasaanku semakin menjadi - jadi. Aku pun mencoba mengalihkan pikiranku.

"Pak guru tinggal sendirian ?" tanyaku memecah keheningan.

"Ya, keluargaku tinggal di Surabaya."

"Mmm apa bapak punya pacar ?" aku mencoba memberanikan diri.

"A..."

'ting tung'

Tiba - tiba bunyi bel memotong pembicaraan pak guru. Lalu ia beranjak kearah pintu dan membuka kuncinya.

"Nenek ?!"

"Duh, cucu nenek makin cakep nih." ucap wanita yang kira - kira berumur setengah abad berambut hitam bercampur putih itu sambil mencubit kedua pipi pak guru.

"Nenek, Ferdy bukan anak kecil lagi." ucap pak guru kesal sambil dengan lembut menyingkirkan kedua tangan keriput itu di kedua pipinya.

Perempuan tua yang memakai make up dan berpakaian modis itu menoleh ke arahku dan langsung menghampiri hingga duduk disampingku.

"Jadi ini toh, calon kamu ? Cantiknya kamu nduk. Cucu nenek memang pandai mencari pasangan"

Mataku terbelalak. Apa - apaan ini ? Aku tak mengerti situasi disini. Lalu aku menoleh ke arah Pak guru. Namun pak guru memasang muka seolah memelas dan memohon padaku untuk mengiyakan perkataan neneknya itu.

"I...iya, makasih Nek."

"Lha ini kakinya kenapa ?" ujarnya sambil menunjuk bekas luka di lututku yang lumayan besar.

"Tadi ia jatuh saat lari pagi. Tapi sudah aku obati, Nek." pak guru menjawab.

Nenek pak guru tersenyum dengan lembut membelai rambut panjangku yang di kuncir kuda.

"Olahraga memang bagus. Tapi harus hati - hati. Jadi kapan kalian akan bertunangan ?"

Mataku kembali menatap tajam ke arah Pak guru.

Cinta Terlarang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang