Three

5.2K 244 3
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, Adit layaknya tukang ojek pribadi si gadis yang kini tengah duduk anteng di jok belakangnya.
Rutinitas wajib mereka, berangkat dan pulang sekolah bareng.

Dan sebagai imbalan, Adit akan numpang sarapan atau makan siang di rumah Nabilla. Makanan penggugah selera hasil racikan Bi Ina— asisten rumah tangga di rumah Nabilla.

Begitu urusan perut teratasi, Adit akan pulang ke rumahnya yang berdiri kokoh tepat di depan rumah Nabilla, hanya perlu menyebrang jalan dan cuss....sampai.

Aktivitasnya di rumah hanya main game sampe bosan, tiduran, lalu berkunjung ke rumah Nabilla untuk mengusilinya. Sebelas tahun mengulang siklus yang sama, dan Adit tidak pernah bosan untuk terus mengulangnya selama itu bersama Nabilla.

Hanya Nabilla.

*****

Sore harinya, Adit ke rumah Nabilla. Mengecek keadaan gadis pengidap kemageran tingkat akut yang sayangnya menjadi tanggung jawabnya selama orang tua gadis itu di Milan, untuk urusan bisnis.

Ya, orang tua Nabilla menjalankan bisnis yang berpusat di kota kelahiran Tyson— ayah Nabilla. Bisnis properti yang cukup terkenal yang dijalankan bersama sang sahabat, yang tak lain adalah orang tua Adit.

Untuk itu, Adit diberi kepercayaan penuh untuk menjaga dan mengawasi Nabilla.

Mereka sama-sama anak tunggal, dan rasa kesepian jadi salah satu alasan dibalik persahabatan mereka. Keduanya menemukan sosok yang mereka butuhkan, dan kehadiran mereka terasa saling melengkapi.

“Eh, den Adit. Cari neng Billa, ya?” Bi Ina yang sedang merapikan ruang tamu mendekati sahabat majikannya. Adit cukup akrab dengan Bi Ina, lantaran sudah sering berkeliaran di rumah itu.

“Iya, Bi. Billa mana?” tanya Adit sopan.

“Neng Billa teh, masih tidur atuh den kalo jam segini, mah.”

Dasar kebo!

“Yasudah, saya ke atas dulu, Bi.” pamit Adit yang diangguki Bi Ina sebelum kembali berjibaku dengan pekerjaannya.

Adit bergegas menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamar Nabilla berada. Begitu pintunya terbuka, Adit mengeleng lemah menyaksikan sahabatnya yang masih tidur tengkurap dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya.

“Yaelah nih anak masih molor aja.” ucap Adit berkacak pinggang.

“Bill, bangun!”

“Eemmm...lima menit lagi, Bun.” racau Nabilla dengan suara serak.

“Ck, gue bukan Bunda, lo. Buru bangun!” decak Adit yang sama sekali tidak direspon. Adit pun berniat untuk mengerjai Nabilla yang sedang tertidur pulas.

“KEBAKARAN!! KEBAKARAN!!” teriak Adit tepat di telinga Nabilla.

Nabilla yang mendengar teriakan Adit pun langsung bangun berdiri dan lari nggak jelas.

“HUAAAA...KEBAKARAN! BUNDA! ADIT! TOLONG BILLA!” teriak Nabilla sambil tetap berlari bolak balik di dalam kamar. Adit yang melihat tingkah konyol Nabilla pun tak kuasa menahan tawa.

“Huahahhahahh....” tawa keras Adit menggelegar di kamar Nabilla.

Sementara itu Nabilla yang sedari tadi lari bolak balik langsung berhenti karena bingung dengan tingkah Adit.

“Eh, peyang! Lo kenapa ketawa? Ada kebakaran bukannya lari malah ketawa kayak orang gila. Lo udah bosan hidup apa?” omel Nabilla yang belum menyadari ulah Adit.

Sementara tawa Adit semakin pecah mendengar omelan Nabilla barusan. “Lucu...Hahahahh... Lo lucu banget Bill..Hahahh...”

“Lo kenapa, sih? Kok san—”

Wait! Kalo emang ada kebakaran kenapa dia bisa setenang itu? Mana dari tadi ketawa terus lagi. Jangan-jangan

Mata Nabilla memicing ke arah Adit. “Dit, jangan bilang lo ngerjain gue, ya?”

Aditpun berusaha meredakan tawanya. “Nggak. Emang bener kok ada kebakaran.”

“Mana kebakarannya?” tanya Nabilla kembali panik.

“Di Cirebon.”

“Ha? Kok?” nyawa dan pikiran yang masih belum terkumpul sempurna membuat Nabilla hanyut dalam kelinglungan sesaat.

“Tadi gue nonton berita, katanya ada kebakaran di Cirebon.”jawab Adit sok polos.

“Kampret!” umpat Nabilla sepenuh hati. Dia terkejut sampai hampir terjungkal itu hanya kena prank doang? Untung penghuni ragunan belum keluar dari mulut Nabilla.

“Ustt...languange!”  peringat Adit. “Lagian gue hanya berbagi info. Santuy dong.”

“Lo yang santuy, gue yang budeg, setan!” sembur Nabilla.

“Abis lo tidurnya kebo banget. Gue kira tadi elo pingsan, makanya gue tes.” jelas Adit.

“Tapi nggak gitu juga, keles. Gue budeg beneran, lo mau tanggung jawab?” hardik Nabilla berkacak pinggang.

Sorry, deh.”

Sorry sorry. Lo ngapain, sih bangunin gue. Mana mimpi gue belum ending lagi!”

“Mimpi mulu diurusin. Udah sore, masih aja molor. Melar lo lama-lama.”

Body goals gini dibilang melar, mata dipake dong, pak bos.”

Body sih, yes. Tapi kok bau apek, ya?”

Nabilla yang berada diambang batas kekesalan tidak lagi sanggup menahan tangannya untuk memberi pukulan sayang di kepala sahabatnya.

Awh! Sakit peak!” rutuk Adit sambil mengelus kepalanya yang dijitak Nabilla.

“Makanya jangan buat gue kesel.”

“Makanya mandi. Atau seengaknya ganti baju dulu baru tidur.”

Dengan kekesalan memuncak, Nabilla memutar badan meraih handuk yang tergantung di pojok kamar sebelum masuk ke kamar mandi dengan kasar.

“Keluar dari kamar gue!” teriak Nabilla dari dalam kamar mandi.

Dengan sisa tawanya, Adit bergegas turun ke lantai satu. Menunggu Nabilla menyelesaikan ritual mandinya sambil menonton acara sepak bola.

Friendzone [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang