Kabut hitam yang sempat menyelimuti hubungan persahabatan mereka, perlahan-lahan menghilang dan pelangi penuh warna kebahagian kembali mereka sebarkan.
Semuanya kembali seperti dulu. Berkumpul bersama, bergurau bersama untuk menghabiskan waktu.
Keterbukaan, sekarang telah menjadi prinsip yang wajib dijalankan dalam persahabatan mereka. Mereka tidak mau menerka-nerka tentang apa yang salah satu diantara mereka alami, karena sesungguhnya mendengar secara langsung adalah hal yang terbaik.
Hanya saja, diantara mereka masih ada seseorang yang belum bisa menjalankan prinsip itu sepenuhnya. Terbuka tentang sebuah rasa, teruntuk seseorang yang telah menjadi milik orang lain.
Dan di sinilah ia sekarang, berhadapan dengan keempat sahabat tercinta, yang siap menghujaminya dengan seribu pertanyaan yang sebenarnya lebih seperti pernyataan.
"Lo kenapa, sih suka banget main meong-meogan? Jujur aja lagi. Jujur gak akan buat Lo dosa."Niko sedari tadi membujuk Nabilla agar mengatakan akan rasa yang ia miliki untuk Adit. Ia hanya tidak mau, Nabilla menanggungnya sendiri, sementara si doi gak tahu apa-apa.
Nabilla mendengkus. Memangnya dengan ia jujur akan perasaannya semua masalah akan selesai. Tidak. Karena dari kejujuran itu, akan timbul masalah baru."Mengakui rasa yang tak seharusnya ada itu gak mudah, Nik. "
"Yaelah, harus banget, nih gue bantu buat ngomong? "usul Niko.
Amel yang tahu Nabilla tertekan akan pembahasan mereka saat ini, ikut andil. "Bener kata Nabilla, Nik. Mengakui perasaan dia ke Adit itu bukan tindakan yang tepat. Apa kalian lupa tentang Mona, sekarang? "
Seperti baru saja mendapat sebagian dari ingatannya, Niko langsung menepuk jidatnya kuat, "Gue lupa tentang itu. "Niko menggaruk pelipisnya sambil bergumam. "Kok gue bisa lupa ? Apa gue tadi kena amnesia dadakan, kali ya? "
"Lagian si Adit juga, katanya udah sahabatan sejak kecil. Masa dia gak tahu, sih perubahan yang terjadi sama Nabilla. Dasar cowok gak peka! "cibir Cindy.
"Untung gak ada Adit, Cin. Kalo sampe dia denger nih, beh....ABIS LO! "seru Niko. "Btw, kalimat terakhir Lo gak enak, Cin. Gue jadi ikut kesindir, gue kan cowok. Hanya saja gue cowok yang sedikit peka. "suara kekehan keluar dari mulut Niko setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Si Adit, mah muka aja yang sangar, sok dewasa. Tapi sebenarnya tuh bocah polosnya kebangetan. Cinta aja kenalnya baru sekarang. Pacaran, itupun karena kita-kita yang nyiapin segalanya. Kadang gue mikir, sebenarnya Adit itu berkepribadian ganda gak, sih? Kok bisa dia terlihat dingin kek beruang kutub, kocak udah melebihi Tukul Arwana, seremnya udah setara sama Hulk, tapi setelah itu dia akan jadi polos, sepolos kertas hvs tentang perasaan. "Ridho berucap dengan memandang langit biru, seolah semua yang ia katakan tadi tergambar dengan jelas di atas sana.
Dan inilah dia, Ridho yang kemarin tampil dengan beribu kata bijak melebihi Mario Teguh, kembali pada dirinya yang suka ngelantur, dan penuh imajinasi saat berbicara.
Dan anehnya lagi, Nabilla, Amel, Cindy dan Niko mengikuti apa yang Ridho lakukan. Menatap cerahnya langit biru yang dihiasi awan putih bersih di atas sana. Setelahnya, mereka akan senyum-senyum tidak jelas, seolah mereka melihat apa yang dikatakan Ridho tadi terpampang bak film di langit itu.
Diantara mereka, Nabilla yang paling awal sadar dari kekonyolan yang baru saja mereka lakukan, lalu ia tertawa terbahak-bahak diikuti dengan sahabat yang lain ketika mereka sudah kembali ke dunia nyata.
"Hahahahh...kok kita gila banget, ya? "tanya Niko dengan ekspresi jenaka, menyadari kebodohan yang baru saja mereka lakukan bersama.
Nabilla masih mempertahankan tawanya, namun ia memaksakan untuk berbicara ke Niko, "Sekarang Lo tahu, kan kenapa gue gak mau jujur? "
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Sebelas tahun bersahabat, yang membuatku nyaman dan berujung pada cinta. Ya, aku mencintaimu, tapi tak ku ungkapkan karena takut kehilanganmu. Aku takut kamu menjauh, dan tak mau berhubungan denganku bahkan walau hanya sekedar bersahabat." Nabilla...