Twenty Three

3.9K 160 0
                                    

"Kita ngumpul di sini, cuma buat diem-dieman doang?" tanya Niko, memecah keheningan. Ia sangat kesal karena semuanya hanya duduk diam mematung.

Saat ini mereka berada di taman yang tak jauh dari sekolah tempat mereka belajar. Berkumpul untuk meluruskan benang kusut yang akhir-akhir ini membuat renggang persahabatan mereka.

Saat di sekolah, Ridho meminta Adit, Nabilla, Niko, Amel dan Cindy agar tidak pulang dulu ke rumah masing-masing. Mereka harus menyelesaikan masalah dalam persahabatan mereka sekarang juga sebelum semuanya menjadi semakin runyam.

Ridho mengangguk. Menghela napas berat, lalu membuka pembahasan mereka secepatnya. Ia sadar, bahwa memang seharusnya ia yang pertama kali membuka percakapan karena ia yang meminta sahabat-sahabatnya untuk berkumpul. 

"Gue rasa hubungan persahabatan kita sekarang menjadi renggang," ucap Ridho to the point yang diangguki kelima sosok yang ada di sana.

"Gue pengen semuanya selesai sekarang. Kita harus saling terbuka, mengatakan apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, dan masalah apa yang kita hadapi." Ridho mengedarkan pandangannya ke arah sahabatnya, namun lebih terfokus ke Nabilla dan juga Adit. "Gue gak mau hanya karena orang baru, yang lama jadi terabaikan," lanjut Ridho dengan menatap Adit lekat.

Adit yang merasa tersindir pun balas menatap Ridho tak kalah lekat. Suasana menjadi mencekam karena hal itu.

Namun tak ada yang berani berkata-kata sekarang, semuanya bungkam. Bingung ingin membela siapa. Antara Ridho yang mengatakan fakta, atau Adit yang juga sahabat mereka.

"Lo nyinggung gue?" tanya Adit dengan ekspresi datar, sedatar-datarnya.

Ridho menggeleng. "Gue gak ada maksud buat nyinggung, lo. Hanya saja sebagai sahabat, gue harus mengatakan kebenaran di depan lo, bukan di belakang."

"Bukannya kalian yang paling mendukung hubungan gue sama Mona?" tanya Adit dingin. "Lalu sekarang apa?"

Amel yang berada di samping Ridho, membuka suara. "Kita emang dukung hubungan lo dengan Mona. Kita bahkan turut bahagia saat lo akhirnya bisa dekat dengan seseorang. Tapi bukan berarti, lo jadi menjauh dari sahabat hanya karena sekarang lo ada Mona." Amel sangat berhati-hati dalam setiap perkataannya. Ia takut salah bicara dan melukai perasaan Adit.

"Bener kata Amel, Dit. Kita bicara kek gini bukan berarti kita menentang hubungan lo sama Mona. Gak, gak sama sekali. Kita hanya minta, lo gak menarik diri dari sahabat lo, demi orang baru." Kini Cindy juga ikut bersuara. Berharap dengan begini, Adit akan menjadi terbuka dan mengatakan alasan ia menjauh.

Adit masih tetap bungkam. Menunduk, menatap rerumputan dengan pikiran yang terpecah belah.

Sementara Niko yang duduk di samping Nabilla, ikut menyuarakan apa yang ia rasakan. "Dulu, setiap lo punya masalah, lo selalu cerita ke Nabilla. Lo gak pernah mau berbagi sama kita-kita. Tapi sekarang..." Niko merengkuh Nabilla dari samping. "Lo bahkan udah jarang banget buat hanya sekedar say hi  sama dia. Kalo boleh gue mau bilang, kalo gue benci sama sikap lo yang sekarang."

Dalam hal seserius ini, Niko tak lagi bercanda. Ia masih tahu situasi dan kondisi tentang bagaimana ia bersikap.

Dan tanpa ada yang menyadari, air mata sudah menggenang di pelupuk mata Nabilla. Ia ingin menangis sekarang. Menangis haru atas apa yang sahabatnya lakukan. Ia sadar, inti dari berkumpulnya mereka saat ini adalah dirinya, dan juga Adit.

Mendengar dan meresapi maksud dari tiap kata yang terlontar dari mulut sang sahabat itu yang kini Adit lakukan.

Setiap kata yang keluar itu adalah apa yang mereka rasakan, dan apa yang mereka pendam selama ini. Dan itu artinya, mereka menyimpan rasa kecewa pada dirinya yang selama ini tak terucap. 

Adit tahu, selama ini ia sangat cuek dengan sahabatnya, kecuali dengan Nabilla. Ia jarang bergurau dengan sahabatnya, kecuali dengan Nabilla. Ia jarang tersenyum, kecuali dengan Nabilla.

Semua hanya dengan Nabilla. Hingga, seseorang hadir dalam hidupnya dan merubah segalanya. Senyum, canda, dan perhatian yang selama ini ia curahkan untuk Nabilla, berpaling ke orang itu. Orang yang hadir dalam sebagian kisah hidupnya, membawa nama cinta.  

Dan kalau boleh ia jujur, saat ini ia kecewa. Kecewa kepada diri sendiri karena sudah meninggalkan sahabat kesayangan, adik, dan juga...orang yang mencintainya dengan penuh ketulusan.

Seandainya saja Adit tahu akan hal itu, mungkin dia tidak akan berpaling, mungkin dia tidak akan menjauh, dan mungkin tidak akan pernah mengenal cinta bersama Mona.

Adit diam-diam melirik Nabilla yang masih direngkuh oleh Niko. Kemudian memandang semua sahabatnya yang dalam keadaan diam, membiarkan kesunyian menyelimuti bersama dengan terpaan angin yang begitu terasa. Hingga pada akhirnya, Adit menyunggingkan senyum tipis. Senyum bahagia. Bahagia karena ternyata bukan cuma dirinya yang menganggap Nabilla sahabat kesayangan, namun sahabat yang lain pun demikian.

Bahagia rasanya karena di saat ia tak ada di sisi Nabilla, keempat sahabatnya yang lain tetap ada mendampingi dan menyanyanginya lebih dari apa yang bisa ia lakukan.

Masih dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya, Adit menjawab segalanya. Jawaban yang selama ini sang sahabat nantikan. "Menjauh bukan berarti melupakan, bukan pula meninggalkan. Hanya saja terkadang ada sebuah kondisi yang membuat seseorang harus terlihat menjauh, namun pada kenyataannya tidak seperti itu."

Adit menjelaskan bagaimana kesibukannya akhir-akhir ini, menjelang turnamen akhir tahun yang akan segera diadakan. Ia sebagai kapten basket SMA 10 Jakarta, dituntut untuk mengkoordinir setiap anggota, latihan, menyusun strategi, dan harus terus laporan dengan pak Ahmad, selaku guru olahraga dan pelatih tim basket SMA 10.

Untuk kesibukan yang ini, Ridho dan Niko paham betul bagaimana kesibukan itu, karena mereka juga terlibat. Hanya saja Adit yang paling sibuk di antara semua anggota tim.

Ini baru sepenggal kesibukan yang ia lakukan saat di sekolah hingga sore hari.

Dua hari setelah peresmian hubungannya dengan Mona, Adit mengetahui bahwa ibu Mona sedang dirawat di rumah sakit, karena kanker darah stadium tiga yang dideritanya.

Adit hanya tidak tega melihat Mona yang harus merawat sang ibu seorang diri, karena Mona tak memiliki sanak saudara di Jakarta. Ayah Mona sendiri sudah meninggal saat ia masih kecil.

Itu sebabnya Adit dan Mona bergantian merawat Mira, ibu Mona. Mona akan merawat ibunya hingga jam delapan malam, kemudian Adit yang akan melanjutkan hingga pagi hari.

"Jangankan buat kalian, buat diri gue sendiri aja, gue gak punya waktu," wajahnya terlihat sendu, bukan karena menyesal telah merawat ibu Mona, hanya saja ia cukup menyesali sikapnya yang tanpa sadar menciptakan jarak tak kasat mata di antara sahabatnya.

Semua mendengarkan dengan seksama dalam diam. Beberapa diantara mereka menanggapi, namun ada juga yang memilih untuk diam. Nabilla salah satunya.

"Gue gak nyangka, kalo situasinya jadi serumit ini, "cetus Amel.

"Lo hebat, Dit. Gue kagum sama niat baik, lo." Ridho menepuk bangga sikap sahabatnya.

Sementara Niko menepuk bahu Adit, "Lo sekarang jadi super sibuk ternyata. KPK yang ngurusin kasus korupsi yang gak kelar-kelar aja, kalah sama, elo."

Dan beberapa pujian serta semangat lainnya yang sahabatnya berikan. Hingga ia yang dari awal terdiam, mengeluarkan suara serak akibat menangis. "Itu sebabnya, berbicara terkadang diperlukan, untuk menghindari adanya kesalahpahaman, atau perspektif negatif yang kemungkinan akan terjadi."

Suasana yang sedari tadi mencekam, sekarang mulai menghangat. Semua kesalah pahaman yang ada perlahan sirna terbawa angin lalu.

Benar kata Nabilla, terkadang bicara memang diperlukan, bukan untuk mempublikasikan suatu masalah, hanya saja tidak semua orang jago dalam menebak situasi. Lagi pula, sejago-jagonya orang menebak, akan jauh lebih baik untuk mendengarnya secara langsung. Itu sebabnya, bicaralah. 

Friendzone [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang