Twenty Eight

3.9K 202 29
                                    

Sejuknya angin malam terasa menusuk hingga ke tulang-tulang. Nuansa yang mampu membuat siapapun mengurungkan niatnya untuk keluar rumah.

Namun nyatanya hal tersebut tak berlaku bagi seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu yang terlihat lusuh menempel di tubuhnya. Suhu dingin yang menghembus di sekitar taman tak lagi ia hiraukan.

Dari wajahnya tampak jelas ada yang mengusik hati dan pikirannya. Sebuah rasa yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah rasa yang tak pernah diinginkannya, sebuah rasa yang disebut ketakutan.

Takut untuk kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Seseorang yang telah menemaninya selama sebelas tahun. Dan jika bisa untuk selama hidupnya.

Adit memilih pergi setelah mendengar penjelasan dari bu Rima mengenai kecelakaan yang menimpah Nabilla. Hatinya hancur hanya dalam beberapa saat. Ia ingin menangis, namun air mata tak kunjung menetes. Hatinya bertambah sakit tatkala Nabilla dinyatakan koma.

Perlahan, adegan kebersamaan mereka sore tadi terputar bak film di ingatannya. Tawa, gurauan, pelukan, semuanya. Semua hal yang terasa sangat baru terjadi, kini menghilang.

Ada rasa tak percaya yang timbul di hatinya. Berharap hanya sebuah mimpi namun ia tak kunjung sadar dan bangun dari mimpi itu, karena pada dasarnya ini adalah sebuah realita kehidupan.

“Jangan bersikap dingin terus, nggak semua orang tahan sama manusia es kayak lo,”

“Masih ada, elo.”

“Nggak selamanya gue bisa ada di samping, lo. Ada saatnya dimana gue mungkin pergi jauh dan nggak kembali lagi.”

Sepenggal pembicaraan yang tadinya ia lakukan dengan Nabilla, kini kembali menghantui. Sebuah pesan dari sahabat yang ia anggap angin lalu, kini menyiksanya. Karena perlahan ia mengerti maksud dari pesan yang mengandung arti terselubung.

“Lo harus kuat, Bill.”

“Hanya lo yang tahan sama gue,”

“Dan gue gak pernah ngizinin lo ke mana-mana. Lo harus tetap di sini sama gue!”

*****

Langkah kaki menuntun Adit kembali memasuki rumah sakit. Setelah beberapa jam melawan hawa dingin di taman rumah sakit, akhirnya membuat Adit mengalah.

Ia berjalan beriringan dengan Ridho ketika tanpa sengaja bertemu di bagian administrasi sebelumnya.

Namun langkah mereka terhenti, bersamaan dengan pandangan yang disuguhkan di hadapan mereka. Tanpa alasan, saat itu detak jantungnya serasa berhenti, aliran darahpun seperti membeku. Ingin sekali mereka bertanya, namun lidah terasa kelu, serta napas yang terasa tercekat di tenggorokan.

Tak jauh dari posisi di mana mereka berdua berdiri, dua pasang suami isteri tengah berpelukan dengan berlinang air mata. Ingin berasumsi, namun logika tak lagi dapat diandalkan.

Adit hendak melangkah, namun melihat salah satu wanita paruh baya di depan sana tumbang, mengurungkan niatnya. Ia tetap diam sampai suami dari wanita yang tumbang tadi membopongnya ke ruangan lain.

Wanita lainnya menatap ke arah mereka dengan mata yang dilapisi cairan bening. “A—Adit ...” dengan susah payah wanita itu berhasil mengeluarkan suara. Dan detik selanjutnya, wanita itu berlari mendekati posisi Adit dan Ridho yang masih diam mematung. Wanita itu merengkuh tubuh Adit dengan sesunggukan. “N—ak,”

Friendzone [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang