Ia berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat redup. Suasana yang mampu membuat siapapun bergidik ngeri saat melintas.
Namun itu tak terjadi padanya, karena rasa khawatir lebih mendominasi ketimbang rasa takut. Ia berjalan dengan sangat cepat. Tidak, tidak. Lebih tepatnya berlari. Ia begitu terburu-buru hingga beberapa kali menabrak beberapa pengunjung atau bahkan perawat yang ikut berjalan di lorong rumah sakit yang luasnya tak seberapa.
Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tak baik-baik saja, setelah menerima panggilan masuk yang serasa membuat jantungnya akan lepas dari tempatnya.
Ia menolehkan kepalanya saat berada di perempatan lorong. Depan, kiri, kanan, dan yah! Di lorong sebelah kanannya, ia menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Ada banyak orang dengan ekspresi sama di sana. Cemas. Tapi fokusnya hanya tertuju pada sepasang manusia paruh baya di depannya.
"Bagaimana kondisi Nabilla?"tanyanya pada sepasang suami istri yang tak lain adalah Maya dan Tyson.
Maya sudah terisak dalam pelukan Tyson. Tatapannya kini ia alihkan ke arah Tyson yang masih menenangkan sang istri. Tyson menatap laki-laki di hadapannya diikuti gelengan kepala. Pertanda bahwa ia tidak tahu.
"Nabilla masih dalam penanganan dokter, Dit."Ridho yang berada di belakang Adit menjawab. "Tapi yang gue denger, lukanya cukup serius."
Setelah mendengar penuturan Ridho, Adit mengacak rambutnya frustasi.
Ia baru saja memasuki rumahnya setelah mengantar Mona sepulang dari Illy Coffee. Dan ponselnya berdering akibat panggilan masuk dari sahabatnya, Ridho.
Jantungnya langsung mencelos saat Ridho mengatakan bahwa bus yang Nabilla tumpangi jatuh ke jurang, dan kini tengah berada di rumah sakit. Sambungan telepon ia putuskan secara sepihak. Ia kembali mengendarai motornya, tanpa mengganti seragam sekolahnya. Ia hanya melempar tasnya asal, yang entah mendarat di mana.
Tubuhnya ia sandarkan ke tembok rumah sakit, lalu luruh ke lantai. Matanya berkaca-kaca menahan cairan bening yang mendesak ingin keluar.
Ridho berjalan menghampiri Adit yang terlihat sangat kacau. Seragam kusut tak beraturan, wajah suram dengan rambut acak-acakan karena terus ia jambaki.
Sementara Amel dan Cindy saling berpelukan, menenangkan satu sama lain. Sedang Niko berdiri dengan wajah kusut, tak jauh dari mereka.
Semua kemungkinan buruk serasa menghantui. Disaat dokter saja tak bisa menjamin keselamatannya, lalu bagaimana mereka bisa tenang?
Semuanya terjadi begitu cepat. Beberapa waktu lalu, mereka baru saja berkumpul bersama, bersendagurau bersama, dan tertawa bersama. Lalu sekarang? Salah satu diantara mereka kini berjuang untuk tetap hidup.
"Apa yang terjadi sebenarnya?"tanya Adit datar.
Seorang wanita paruh baya yang tak dikenal berjalan mendekat ke arah segerombol manusia yang tengah berderai air mata. Di pergelangan tangan kirinya terdapat balutan perban, seperti menutupi luka di sana.
"Gadis yang baik. Dia sampai harus mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan orang lain."wanita yang entah siapa itu, berucap dengan suara bergetar. Ia menangis, tak kuasa menahan segala rasa yang membuncah dalam hatinya. Ia bahagia karena anaknya selamat. Tapi ia juga sedih, karena gadis yang menyelamatkan anaknya tengah bertaruh nyawa sekarang.
Ucapan wanita tak dikenal itu, sontak mengundang perhatian semua orang yang ada di sana.
Bahkan Maya sampai berlari menghampiri wanita itu, ia ingin tahu, sebenarnya apa yang telah menimpah puteri kesayangan mereka. Karena diantara mereka memang tidak tahu apapun tentang kecelakaan itu. Mereka hanya menerima telepon dari pihak rumah sakit yang mengatakan bahwa anak mereka sedang berada di UGD. Mereka masih sangat syok untuk mencari tahu penyebab kondisi Nabilla.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Sebelas tahun bersahabat, yang membuatku nyaman dan berujung pada cinta. Ya, aku mencintaimu, tapi tak ku ungkapkan karena takut kehilanganmu. Aku takut kamu menjauh, dan tak mau berhubungan denganku bahkan walau hanya sekedar bersahabat." Nabilla...