Eighteen

3.3K 152 2
                                    

Usaha Nabilla untuk menyatukan kedua insan yang saling memiliki rasa itu, ternyata tak sia-sia.

Hubungan Adit dan Mona terlihat makin dekat saja. Mereka kerap kali menghabiskan waktu bersama.

Mona pun sudah sangat akrab dengan sahabat, sang calon pacar.

Namun siapa sangka, kedekatan mereka berdua justru mengundang rasa perih tak terelakkan untuk seorang gadis.

Nabilla, gadis itu adalah Nabilla. Munafik, jika ia tidak terluka dengan kemesraan keduannya yang tampak sangat bahagia. Munafik, jika ia tidak merasa cemburu melihatnya. Munafik, jika ia tidak menginginkan perlakuan mesra Adit kepadanya, bukan sebagai sahabat melainkan sebagai kekasihnya.

Ingin rasanya, gue yang duduk di sana, di sampingnya. Ingin rasanya, gue yang selalu membuatnya tertawa. Ingin rasanya, gue yang ada disisinya kemana pun ia pergi. Sekali saja, bolehkah gue egois?

Andai saja keegoisan itu tidak akan menimbulkan luka untuk gadis lainnya, maka Nabilla sudah pasti egois sejak dulu.

Namun, Nabilla sangat tahu rasanya terluka karena cinta sepihak. Sehingga ia enggan untuk membiarkan orang lain merasakan hal yang sama, terlebih lagi itu karenanya.

Hingga untuk keseratus sekian kalinya, Nabilla kembali memendam rasa.

"Woy! Diem-diem bae."Cindy berseru, membuyarkan lamunan Nabilla yang sedari tengah berkelana dengan pikirannya.

"Lagi mikirin apa, sih? Dari tadi Niko udah goyang ngebor heboh kek gitu, tapi Lo-nya diem aja, "ucap Amel yang duduk di samping kanan Nabilla.

Berbicara akan posisi duduk, membuat pikiran Nabilla kembali berkelana ke masa lalu.

Dihadapannya, Mona dan Adit duduk berdua di bangku yang dulunya selalu ia duduki. Dulu, Nabilla yang duduk di sana, dengan pria yang sama dengan yang dihadapannya sekarang ini. Hanya saja, wanita yang di sampingnya saja yang berbeda.

"Lo sakit? "tanya Amel, LAGI. Amel khawatir dengan Nabilla, yang sedari tadi hanya diam melamun, tanpa merespon pertanyaan darinya.

Nabilla yang tersadar dari lamunannya menjawab dengan terbata, "Eh, g-gak. Gak kenapa-napa. "

Adit merasa bersalah, karena sedari tadi ia tak menghiraukan sahabatnya itu. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Seharusnya ia menyadari bahwa sahabatnya sedang tidak baik-baik saja saat ini. 

Diam? Nabilla? Oh, itu bukanlah dirinya. Nabilla itu sangat berisik, jadi saat ia diam maka sudah sewajarnya sahabat-sahabatnya itu khawatir dengan dirinya. Melihat kondisi Nabilla yang diam mematung dengan pandangan kosong. Bukan apa-apa, hanya saja mereka takut jika Nabilla ternyata kesambet penunggu pohon toge.

"Bill, Lo sakit? Mau gue anter, ke UKS? "tawar Adit.

Nabilla menggeleng, "No, I'm fine. Kalian gak perlu khawatir sama gue, "ucap Nabilla menyakinkan.

Niko yang berada paling ujung, nyeletuk, "Gimana gak khawatir coba? Lo dari tadi diem-diem bae. Gue sih takutnya Lo kesambet penunggu toge, depan sekolah. "

Mendengar perkataan konyol Niko, Nabilla dan kawan-kawan tertawa. Dan detik berikutnya, Nabilla kembali kepada dirinya yang ribut, cerewet, dan tambah bertingkah absurd saat sudah bertemu dengan Niko.

Sahabatnya pun hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat orang yang tadinya mereka pikir sedang sakit, kini tengah menggila di kantin dengan seribu leluconnya yang mampu membuat seisi kantin tertawa terpingkal-pingkal.

*****

Nabilla kembali mengendarai taksi saat pulang sekolah. Semenjak Adit dan Mona PDKT, Nabilla selalu menolak untuk diantar jemput, Adit.

Friendzone [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang