Nabilla Pov
Saat sudah di rumah pun, perkataan Ridho di kantin tadi masih saja terngiang di pikiran gue. Rasanya gue berada dalam posisi percaya nggak percaya saja mendengarnya.
Adit yang gue kenal sebelas tahun yang lalu selalu menceritakan semua masalahnya ke gue. Bahkan dari hal terkecil sekalipun. Seperti saat dia mendapat nilai merah, diomeli tante Yuli, dikejar anjing tetangga, sampai kolor dia yang nggak ketemu bakal sampe nyari di rumah gue.
Itu Adit yang gue kenal. Gak mungkin, Adit gak cerita sama gue kalo dia emang suka sama cewek. Tapi, bagaimana kalo yang Ridho katakan emang bener?
Hufftt
“Gue kenapa, sih? Kenapa coba kepikiran Adit sama si Mona–Mona itu terus?”
Kepala gue berat rasanya mikirin semua ini.
Dan entah kenapa ada rasa tak rela yang tiba-tiba muncul begitu saja. Dan rasa tak rela itu juga yang buat gue uring-uringan sedari tadi.
“Kayaknya gue butuh bantal sekarang. Mungkin saja setelah gue ketemu Jefri Nichol dalam mimpi, gue jadi nggak kepikiran mereka terus,”
Gue menyeret kaki dengan malas menuju kasur queen size di tengah kamar dan segera merebahkan diri. Dengan harapan pikirannya bisa lebih jernih setelah terbangun nanti.
*****
“Hey, putri tidur! ayo bangun!”
Samar-samar gue mendengar suara cowok sedang bangunin gue. Dan gue bisa merasakan kalo cowok itu berada dalam jarak yang sangat dekat. Sangat dekat sampai aroma mint segar seakan menggelitik indra penciuman gue.
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam otak setengah sadarku.
Mungkinkah dia... Jefri Nichol?
Gue pun refleks menarik tangannya yang berada di bahuku, lalu gue genggam seerat-eratnya. Seolah-olah dengan begitu ia tak akan pergi.
“Jefri Nichol....”
“Dasar halu. Ayo bangun! Udah cukup mimpinya,” kata cowok itu lagi.
Suara ini...kayaknya gue kenal, deh. Tapi siapa?
Gue pun langsung membuka mata dan terbelalak kaget ketika melihat Adit yang berada di sampingku.
“Mimpi indah, Tuan Putri?” tanya Adit dengan nada mengejek.
“Ish, gue kira Jefri Nichol... Eh, ternyata Jefri Jengkol yang ada!”
“Kata Bi Inah, lo belum makan sejak pulang sekolah, kenapa?“ tanya Adit mengalihkan pertanyaan dan segera memasang mode julid.
“Ketiduran,”
“Secapek itu sampe seragam sekolah aja nggak ganti?”
“Hm. Capek banget abis uring-uringan mikirin el—”
Refleks gue menutup mulut. Hampir saja keceplosan.
“Mikirin apa?”
“I-itu, mikirin....mikirin tugas. Iya tugas!” jawab gue gugup.
“Oh. Ya udah gih, mandi dulu sana. Abis itu makan. Gue tunggu di bawah.”
“I-iya.”
*****
Setelah gue mandi, Adit nemenin gue makan. Gak ketinggalan omelannya dia yang menurut gue rempongable.
“Makan yang banyak dong, Bill,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Sebelas tahun bersahabat, yang membuatku nyaman dan berujung pada cinta. Ya, aku mencintaimu, tapi tak ku ungkapkan karena takut kehilanganmu. Aku takut kamu menjauh, dan tak mau berhubungan denganku bahkan walau hanya sekedar bersahabat." Nabilla...