Thirty One

3.2K 149 19
                                    

Setelah dokter melakukan tugasnya, Adit masih setia berdiri di posisinya dengan tatapan yang tertuju pada gadis tak berdaya di hadapannya. Namun meski tatapannya berpusat pada Nabilla, jiwanya entah berkelana ke mana saat ini.  Pikirannya terlalu berantakan untuk mencerna sesuatu yang rumit.

Kelinglungan yang menguasainya terhenti saat seseorang tiba-tiba mengejutkannya dengan sentuhan lembut di bahunya. “Kaget, ya? Maaf, Nak.”

Menghela napas pelan, Adit berusaha menampilkan senyum tipis ke arah wanita yang mengagetkannya tadi.

“Nggak papa, Tante. Tante sendirian?”

Maya berjalan mendekati nakas dan meletakkan buah serta rantang yang ia bawa dari rumah. “Sama Om. Tapi om kamu masih di depan, nelpon.”

Adit mengangguk samar. Kemudian berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan kepala yang disenderkan di sofa dan menjadikan tangannya sebagai bantalan.

Maya yang melihat gurat lelahnya sudah menyuruh pulang beristirahat di rumah saja. Namun si kepala batu mana bisa dilawan. Maya hanya mampu menghela napas pelan, lalu menata makanan yang sudah ia bawa dari rumah untuk Adit sarapan.

*****

Jam istirahat, Ridho, Niko, Amel, Cindy dan Mona berkumpul dengan lesu di kantin. Mereka hanya memesan minum untuk melepas dahaga. Terlihat segar dan menggiurkan, namun terasa hambar saat suasana hati sedang mendung. Semangat mereka jatuh saat orang yang selalu menyemangati justru tak bersama.

“Kangen Billa, gue.” lirih Cindy sambil mengaduk minumannya lesu. Sementara yang lain hanya bisa mengangguk setuju. Moodboster mereka kini berada antara hidup dan mati, dan besar harapan mereka; Nabilla harus tetap hidup. Agar mereka memiliki waktu lebih lama untuk mengukir warna dan sejarah dalam kehidupan ini, bersama.

“Pulang sekolah, mampir ke rumah sakit, yuk.” usul Amel yang kembali mendapat persetujuan dari semuanya.

Jam istirahat yang tersisa mereka gunakan untuk makan walau masih terasa hambar. Setidaknya mereka butuh tenaga agar terlihat lebih kuat di hadapan sang sahabat. Namun ponsel Ridho yang bergetar di saku celananya menginterupsi aktivitas makannya.

From:Es batu
Infoin ke anak-anak, latihannya diundur seminggu lagi.

Ridho segera mendial kontak Adit. Dering sambungan terdengar tak lebih dari dua detik, lalu berganti dengan suara bass dari seberang.

Kena—”

“Lo nggak bakal masuk selama itu?” sambar Ridho cepat.

Mungkin,lirih Adit dari seberang.

“Sekolah lo, gimana? Urusan basket mungkin gue bisa bantu, tapi Pak Musdi? Ini tentang tanggung jawab”

Nabilla, prioritas gue untuk sekarang. tegas Adit sebelum memutuskan sambungan sepihak.

Baik Ridho maupun yang lain tahu pasti, bagaimana overprotektif-nya Adit terhadap Nabilla. Namun diluar dugaan mereka, Adit mengabaikan segala hal tentang dirinya sendiri demi untuk tetap di sisi Nabilla.

Dalam benak mereka, pikiran aneh mulai bermunculan. Kepedulian Adit terhadap Nabilla, entah harus dinilai bagaimana. Harus ada penjelasan lebih dari sekedar sahabat untuk semua hal yang terjadi antara keduanya.

Friendzone [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang