Semua bahagia, tapi tidak dengannya.
Semua tersenyum tulus, namun ia hanya mampu menunjukkan fake smile.
Nabilla pergi meninggalkan ruang basket dan menyeret kakinya menaiki tangga. Saat ini ia butuh tempat terbuka, tempat di mana ia bisa menangis dan menjerit tanpa terlihat oleh orang lain. Tempat yang semoga saja dapat membawa rasa sakit yang ia rasakan bersama dengan hembusan angin.
Nabilla berdiri di tengah-tengah roofrop. Memandang ratusan gedung pencakar langit yang nampak megah menjulang tinggi seakan berlomba mencapai langit biru. Terik matahari yang menyengat kulitnya tak lagi ia hiraukan, karena di hatinya terdapat luka yang jauh lebih menyakitkan dari pada sengatan terik matahari.
Air mata yang sedari tadi ia sembunyikan dengan senyum penuh kepalsuan kini luruh membasahi wajah cantiknya.
Begitu sakit rasanya, melihat ia yang kau cintai kini telah resmi menjadi milik orang lain.
Rasa sakit yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan air mata pun tak mampu mengungkapkan berapa hancur hatinya saat ini. Karena meski air matanya kering sekalipun, rasa sakit itu tetap ada dan terasa abadi di dalam sana.
Isakan tangis mulai terdengar di sekitar rooftop. Nabilla duduk bersandar di tembok rooftop, kepalanya ia tenggelamkan diantara kedua lengannya yang memeluk lutut.
Rasa sakit yang begitu mendominasi dalam hatinya tak membuatnya berpikir bahwa mungkin saja sekarang sahabatnya tengah mencari dirinya yang pergi begitu saja.
“Nangis kok nggak ajak-ajak?” tanya seorang pria dengan nada jenaka, diikuti derap langkah kaki yang semakin mendekat ke arah Nabilla.
Nabilla tentu saja kaget karena ternyata ada orang lain selain dirinya di sini.
Nabilla menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya, lalu mendongakkan kepalanya dengan maksud melihat pelaku keterkejutannya.
Nabilla memicingkan mata memastikan bahwa ia tidak salah lihat, “Ridho?”
“Kenapa kabur?” Ridho bertanya dan ikut duduk di samping Nabilla.
Bukannya menjawab, Nabilla kembali melempar pertanyaan. “Lo kenapa bisa ada di sini?”
“Ngikutin elo. Takut lo ngelakuin hal bodoh dengan terjun bebas dari sini,” ucap Ridho santai dengan pandangan lurus ke depan.
Nabilla terkekeh pelan, “Kenapa juga gue harus terjun bebas?”
“Cemburu, sakit hati. Orang bisa bertindak bodoh dan berpikir pendek saat merasakan kedua hal tadi.” Ridho berucap dengan mata terpejam, menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
“Apa hubungannya sama gue?” tanya Nabilla.
Ridho membuka mata dan menolehkan kepalanya ke arah Nabilla, “Berhenti berpura-pura di depan gue. Nggak mempan.”
Nabilla menoyor kepala Ridho, lalu kembali menatap lurus ke arah gedung-gedung mewah di depan sana.
“Dasar gak jelas!” cibir Nabilla.
“Justru elo yang gak jelas. Lo selalu mau terlihat paling bahagia, paling enjoy seakan-akan lo gak pernah ada masalah—tapi nyatanya apa, Bill ? Lo menyimpan luka dalam hati lo ! Lo biarin kita semua tertawa disaat lo melawan sakit sendiri. Lalu siapa yang nggak jelas, di sini? Gue yang mencoba untuk memahami apa yang nggak lo ungkapkan atau lo yang selalu saja berpura-pura?” suara Ridho mulai bergetar menahan rasa sakit yang ada dalam hatinya karena gagal memahami sahabatnya selama ini.
Nabilla memang sangat pandai dalam hal memanipulasi. Saat Ridho berusaha menemukan masalah dalam dirinya, Nabilla akan segera mengeluarkan segala senjata kekocakannya untuk mengalihkan perhatian sahabatnya dari dirinya... Dan sialnya, Nabilla selalu berhasil melakukannya.
Namun tidak dengan hari ini, mungkin hari ini ia tidak membaca mantra, sehingga Ridho akhirnya menyadari gerak-gerik Nabilla yang terlihat aneh dan tak seperti biasanya.
Saat Adit mengungkapkan perasaannya ke Mona, Nabilla selalu saja menghembuskan napas kasar, seakan-akan terdapat beban ratusan kilo dalam dirinya. Ia juga berkali-kali mengusap matanya yang berkaca-kaca. Dan saat ia tersenyum, hanya ada kepedihan yang terpancar dalam sorot matanya.
Mata Nabilla kembali berkaca-kaca, menangkap nada kekecewaan dari sang sahabat. Namun, ia tetap mengelak, “Jangan sok tahu. Lo nggak tahu apa-apa.”
Ridho tersenyum getir, “Iya, lo bener. Gue emang nggak tahu apa-apa, tapi itu dulu. Karena sekarang gue tahu, tahu banget malah. Kalo lo SUKA sama Adit, lo CEMBURU dan lo SAKIT HATI. Dan untuk pertama kalinya gue bersyukur atas kesoktahuan gue.”
Air mata sudah tak dapat Nabilla bendung lagi, pertahanannya luruh bersama dengan dadanya yang terasa sesak sekarang.
Nabilla takut, bukan hanya Ridho saja yang mengetahui tentang perasaannya. Ia takut kalau yang lain juga sudah mengetahuinya, dan Nabilla takut kalau Ridho akan mengatakan hal ini dengan Adit dan Mona.
Tubuh Nabilla bergetar menahan isakan tangisnya yang ia tahan dengan menggigit punggung tangannya.
“Sepertinya lo nggak paham akan arti sahabat yang sesungguhnya, Bill...” ucap Ridho lirih.
“....Sahabat bukan hanya tentang berbagi kebahagiaan, tapi kesedihan pun juga harus dibagi. Dengan begitu kita akan merasa saling membutuhkan. Dan lo buat gue sama yang lain terlihat sangat jahat. Lo selalu mau tahu masalah yang kita hadapi, lo selalu mau liat kita tertawa, lo selalu mau menyelesaikan masalah kita, meski itu hanya masalah kecil. Gue sama yang lain merasa bahwa gue emang butuh elo dalam keadaan apapun. Entah itu gue bahagia atau gue sedang terpuruk. Tapi lo apa, Bill? Apa pernah lo mengatakan bahwa lo sedang bersedih? Pernah nggak lo bilang kalo lo butuh bantuan? Pernah tidak, lo bilang kalau lo butuh kita-kita di samping lo?”
Ridho terus mengungkapkan semua rasa yang ada di hatinya sekarang, mewakili apa yang sahabatnya juga rasakan.
Nabilla seharusnya tidak egois, dengan membiarkan orang lain bahagia sementara ia berjuang dalam kepedihan seorang diri. Dan untuk itu Ridho ada di sini sekarang, untuk menyadarkan sahabatnya, bahwa ia pun juga butuh sandaran.
“Lo nggak pernah bilang Bill, kalo lo juga butuh bahu sebagai sandaran, padahal bahu gue selalu siap buat jadi sandaran lo, kapanpun lo mau.” Ridho sangat ingin merengkuh tubuh mungil sahabatnya itu sekarang, untuk menenangkannya. Namun, Nabilla sendiri yang harus memintanya darinya.
Nabilla mengangguk, mengusap wajahnya yang basah akibat air mata. “Apa itu masih berlaku sekarang? Boleh gue minjem bahu lo untuk bersandar?"
Tak perlu dua kali untuk Ridho segera meraih tubuh mungil sahabat yang selalu membuatnya tertawa, sahabat yang selalu membuat dirinya merasa tak sendiri, sahabat yang sangat tahu tentang dirinya, dan sayangnya ia tak tahu apapun tentang sahabat kesayangannya itu.
Suasananya terlalu haru, di mana dua sahabat yang sedang berpelukan, berbagi kepedihan yang sudah ia pendam sejak lama, sementara yang satunya lagi berusaha untuk menenangkannya.
Sederhana, dalam hubungan persahabatan atau hubungan apapun itu, keterbukaan adalah hal yang sangat penting.
Cukup katakan apa yang kau rasakan, dan sahabatmu akan memelukmu, menenangkanmu, menasehatimu. Karena mereka bukanlah cenayang, yang dapat mengetahui isi hatimu tanpa harus kau ungkapkan.
Sahabat tidak menginginkan harta, ketenaran dan sebagainya. Mereka hanya menginginkan kau mengatakan, bahwa kau membutuhkan kehadirannya di sisimu, bukan hanya saat bahagia namun juga di saat keterpurukannmu. Karena sahabat adalah tentang berbagi.
“Mulai sekarang lo harus bilang apapun yang lo butuhkan. Gue dan yang lain akan selalu ada, karena lo nggak sendiri.”
Ridho terus memeluk Nabilla erat, menyalurkan tenaga yang ia miliki untuk menguatkan sahabatnya. Sahabat yang jauh lebih dekat dengannya ketimbang Adit, yang memang sangat cuek.
Sementara tanpa sepengetahuan mereka berdua, sahabat yang lainnya berdiri di sana, di ambang pintu yang menghubungkan anak tangga dengan rooftop.
Mereka adalah Amel, Cindy dan Niko. Mereka mengikuti Ridho yang menguntit di belakang Nabilla. Karena bukan hanya Ridho saja yang merasakan perubahan Nabilla, mereka pun merasakannya. Dan untuk itu, mereka sampai mengeluarkan air mata, terharu menyadari persahabatan mereka yang ternyata begitu lengkap dan indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Sebelas tahun bersahabat, yang membuatku nyaman dan berujung pada cinta. Ya, aku mencintaimu, tapi tak ku ungkapkan karena takut kehilanganmu. Aku takut kamu menjauh, dan tak mau berhubungan denganku bahkan walau hanya sekedar bersahabat." Nabilla...