Yakin?

24K 2K 49
                                    

"Anet, apa kamu sudah merubah keputusanmu?"

Anet menggeleng. Ini entah sudah ke berapa kalinya Bian menanyakan pertanyaan yang sama. Anet bahkan sudah jengah mendengarnya. Anet berkacak pinggang, menatap Bian dengan tegas.

"Aku tidak mau, Om, titik. Kalau mau marah-marah cari saja pelampiasan yang lain, jangan aku terus. Telingaku sudah berdengung Om." Anet pergi meninggalkan Bian, ia masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Selama 3 hari ini Bian terus menerornya dengan pertanyaan yang sama. Digoda dengan gaji pun Anet tak mau luluh. Tekadnya sudah bulat untuk keluar dari sini.

Dua hari lagi Anet bisa bebas dan menikmati hari liburnya, ia masih memiliki waktu satu minggu sebelum masuk kuliah. Anet sudah membayangkan tempat wisata mana saja yang bisa ia kunjungi.

"Anet!"

"Om, aku mau kerja jangan diganggu."

Bian menghembuskan napasnya kasar. Ia merasa seperti orang bodoh mengejar-ngejar Anet seperti ini. Bian meninggalkan Anet untuk bekerja. Sudah cukup ia membujuk Anet, wanita itu terlalu keras kepala untuk ia bujuk. Bian juga tak mau kalau para karyawannya berpikir bahwa ia memiliki perasaan pada Anet. Beberapa kali ia sempat mendengar Dewi dan Lili menggosipkan hubungannya dan wanita keras kepala itu.

Bian melihat satu keluarga yang nampak bahagia menyantap makanan yang tersaji di hadapan mereka. Ia bangga dengan apa yang ia raih sekarang.

Ingatan Bian kembali ke masa lalu, dimana tempat ini masih menjadi toko kue. Di tempat inilah ia bertemu dengan Bunda Amina. Tempat ini dulunya begitu ramai, harga kue yang terjangkau serta rasa yang enak menjadi daya tari kuat untuk para pelanggan.

Suatu hari ketika Bian sedang melewati toko kue itu, banyak anak-anak yang berkumpul di depan toko. Setiap anak memegang satu potong kue, senyum bahagia menghiasi wajah mereka setelah memakan kue yang berada di genggaman tangan masing-masing. Bian merasa tertarik untuk melihat apa yang terjadi, apalagi ketika melihat penampilan anak-anak yang sedang berkumpul itu—pakaian kotor, sendal yang seadanya, bahkan ada yang memakai sendal kanan dan kiri berbeda warna ditambah lagi wajah yang kucel. Mereka seperti anak-anak yang tak terurus, lantas kenapa mereka berkumpul di tempat itu?

Ketika Bian masuk ke dalam toko kue, ia lagi-lagi dibuat terkejut. Ternyata masih banyak anak-anak di dalam, mereka semua mengantre dengan sabar. Sepanjang Bian melihat, tak ada yang membawa uang di antara mereka semua.

"Selamat pagi, Kak. Kakak mau beli kue?" Bian menoleh ke arah seorang wanita yang bertanya padanya.

"Ah, iya," jawab Bian. Dia sebenarnya tak memiliki niat untuk membeli tapi ia terlanjur masuk ke dalam toko ini, tak enak jika Bian bilang ia hanya mau melihat-lihat saja karena penasaran dengan anak-anak yang berkumpul di depan.

"Maaf, tapi toko hari ini tutup. Kami hanya membuka untuk anak jalanan saja." Bian terpana dengan apa yang baru ia dengar. Sekali lagi matanya memperhatikan anak-anak yang sedang antre itu, tak ada yang menyerahkan uang, anak-anak itu hanya menerima kue, mengucapkan terimakasih lalu keluar.

'Toko ini memberikan kue secara cuma-cuma?' batin Bian heran.

"Boleh aku bertemu dengan pemiliknya?" tanya Bian dengan spontan. Dirinya penasaran dengan orang aneh yang mau meliburkan tokonya hanya untuk menjatah berpuluh-puluh anak jalanan.

"Boleh, silakan. Beliau ada di ruangannya."

Yang ada di pikiran Bian ketika pertama kali melihat sang pemilik adalah beliau termasuk wanita yang murah senyum. Usianya mungkin sekitar 40 tahunan. Itulah pertama kalinya Bian bertemu dengan salah satu orang terpenting dalam hidupnya.

Seducing Mr. GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang