jika...

23.4K 2.1K 131
                                    

"Om tidak kreatif, masa membawaku ke restoran. Ini terlalu mainstream, Om."

Anet memakan makanannya dengan lahap, tak ada yang namanya jaim. Anet menghabiskan satu porsi steak dalam waktu singkat. Bahkan Bian merasa kenyang sendiri melihat Anet. Wanita itu tak ragu untuk memakan apapun yang telah dipesannya.

"Om ngelihatin terus, om tidak lapar?"

"Aku hanya heran melihatmu. Wanita yang makan bersamaku biasanya anggun dan menjaga tingkah lakunya." Anet menelan makanannya sebelum membalas ucapan Bian.

"Jangan samakan aku dengan mereka. Kalau om mau dinner dengan wanita-wanita itu, silakan. Om membuat nafsu makanku hilang. Om tahu, Jim tidak pernah membandingkanku dengan wanita lain, dia menerima dan tidak protes meskipun aku sering memukulnya atau menendangnya. Dia lelaki yang sangat pengertian dan sabar kan?" ucap Anet. Kini giliran Bian yang menahan kesal karena Anet menyebut nama Jim.

Anet mengulum senyumnya melihat ekspresi Bian. Salah dia sendiri yang membandingkan Anet dengan wanita lain.

"Yang aku heran. Kenapa Om mengajakku makan malam? Apa ada sesuatu yang mengganjal di hati Om sehingga perlu diungkapkan?" pancing Anet. Mungkin saja kan kalau Bian ingin meminta maaf atas tindakannya selama ini, atau mungkin Bian ingin mengungkapkan perasaannya. Anet masih ingat dengan apa yang dikatakan kakaknya tadi siang.

Anet sadar dirinya tak bisa berharap lebih dengan Bian. Anet masih belum tahu dengan jelas bagaimana orientasi seksual Bian yang sesungguhnya. Bisa saja Bian kembali belok atau malah menjadi 'pemakan segala' alias laki-laki atau perempuan dia mau saja.

"Aku mengajakmu makan malam sebagai salam perpisahan saja. Ed bilang aku harus membuat perpisahan yang berkesan."

Untung Anet tidak terbang terlalu tinggi sehingga saat jatuh rasanya tidak terlalu sakit. Dari apa yang dikatakan Bian, makan malam ini adalah ide dari kedua kakaknya yang terobsesi melihatnya dan Bian menjalin hubungan.

"Kenapa om mau saja? Kan om bisa menolak," ucap Anet sedikit kesal setelah mendengar kejujuran Bian.

"Karena aku juga mau minta maaf padamu. Aku sadar selama ini, aku kadang melampiaskan kemarahanku padamu. Mungkin aku membuatmu tak nyaman saat bekerja di restoranku, akupun meminta maaf atas hal itu, dan jika ada kesalahan lain yang belum aku sadari, aku harap kamu mau memaafkannya. Aku tidak tahu jika kita bisa bertemu lagi, kamu pasti akan terlalu sibuk dengan kegiatanmu dan... urusan pribadimu."

Anet mengerjapkan matanya, ia tak menyangka akan mendapat kalimat yang cukup panjang dari Bian. Anet diam, ia membalas tatapan Bian yang sejak beberapa detik lalu memang tak teralih dari wajah Anet. Tak ada yang bicara di antara mereka, hanya ada iringan biola yang memang menjadi ciri khas restoran ini setiap malam minggu tiba. Restoran yang dipilih Bian memang terkenal sebagai salah satu restoran paling romantis di kota ini. Para staf mengatur semuanya dengan sempurna dari mulai pencahayaan yang sedikit redup, alunan biola yang mengalun setiap hari valentine atau malam minggu hingga dekorasi restoran yang sangat elegan.

Anet meraih gelas minumannya, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Jantungnya kembali kambuh setelah beberapa detik menatap manik mata Bian. Ini salah satu efek Bian yang tidak Anet sukai dan ini pula yang menjadi alasan Anet menjauhi mantan bosnya itu.

"Om ngomongnya gitu, kayak kita mau berpisah jauh aja. Karena wajah om sudah sangat memelas jadi aku nggak tega buat nggak maafin," ujar Anet berusaha santai menghadapi situasi yang tiba-tiba terlalu serius dan hening ini. Hanya ada beberapa pasangan yang makan di sini, itupun jarak meja mereka berjauhan.

"Kamu tidak mau minta maaf juga? Apa kamu tidak ingat suka menggodaku? Tidak ingat dengan perilakumu yang suka seenaknya dan menciumku sembarangan."

Seducing Mr. GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang