Udah baca judul part ini kan? Yup, ini akhir dari kisah Anet dan Bian. Terimakasih buat semua reader yang udah mau pantengin cerita ini hingga tamat.
*******
Untuk pertama kalinya Bian bertemu kembali dengan pria yang telah berperan besar menghancurkan rumah tangga kedua orang tuanya. Bian hanya berdiri melihat ibunya menangisi kepergian pria itu. Jika bukan Anet yang menyeretnya ke sini, Bian tak akan mau mengunjungi suami ibunya itu.
Keadaan Gerald memang sudah kritis dari 2 hari kemarin dan hari ini sepertinya menjadi hari terakhir untuknya. Nesa masih menangisi kepergian suaminya. Di belakangnya ada Anet dan Bian yang diam saja sedari tadi. Nesa tadi sebenarnya hanya mengabari Anet namun tentu saja Anet yang khawatir dengan keadaan Nesa langsung menghubungi Bian.
Anet memegang tangan Bian dengan erat karena Bian beberapa kali berniat pergi dari sini.
"Ma, aku pulang dulu. Nanti aku minta Pak Hakim untuk membantu mama."
Bian menarik tangan Anet dengan paksa. Dirinya sudah tidak ingin berada di sini. Melihat ibunya yang menangis karena pria itu membuat Bian kembali teringat akan masa lalu di mana keluarganya hancur di depan matanya.
Anet mengikuti langkah Bian dengan susah payah.
"Om, pelan-pelan. Kakiku tidak sepanjang kaki om."
Bian berhenti. Ia mengangkat tubuh Anet begitu saja tanpa peduli dengan beberapa orang yang melihat aksinya tersebut. Sekarang jam 7 malam dan masih banyak orang berlalu lalang di rumah sakit ini.
Bian langsung mengemudikan mobilnya menjauh dari kawasan rumah sakit. Ia diam saja selama perjalanan. Pikirannya sedang penuh dengan bayang masa lalu yang sebenarnya sangat tidak ingin diingatnya.
"Om, kita mau kemana?"
Bian mengangkat bahunya. Pandangannya tetap fokus ke jalan. Dia sendiri tidak tahu mau kemana. Setelah mengemudi tanpa tujuan, Bian akhirnya mengarahkan mobilnya ke tempat yang selalu ia tuju ketika dirinya terlalu banyak pikiran. Tempat dimana ia meminta Anet untuk menjadi kekasihnya.
Tanpa bicara, Bian turun dari mobilnya. Ia membukakan pintu Anet karena wanita itu masih belum turun juga.
"Apa aku perlu menggendongmu lagi? Ayo turun. Kamu berat, aku capek mengangkatmu."
"Om nyebelin." Meskipun kesal, Anet tetap turun dari mobil. Bian menggenggam tangan Anet dan mengajaknya untuk duduk di sebuah bangku panjang yang diterangi oleh lampu taman.
"Apa kamu masih ingat dengan tempat ini?"
"Tentu saja masih. Aku belum pikun, Om," jawab Anet ketus. Ia masih tidak terima dibilang berat. Anet menunduk melihat tubuhnya. Dia merasa berat badannya sudah sesuai dengan tinggi tubuhnya. Apa Bian mau dirinya berubah menjadi sebatang lidi?
Bian melirik Anet. Ia tersenyum menyadari Anet sedang memperhatikan perutnya sendiri. Tangan Bian bergerak melingkar di pinggang Anet. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Anet.
"Tadi aku hanya bercanda. Kamu tidak gendut Sayang, tapi justru terlihat kekurangan gizi," bisik Bian di telinga Anet. Bianjustru tertawa kecil ketika mendapat sebuah sikutan dari kekasihnya tersebut.
"Om, kenapa kita di sini? Kasihan Tante Nesa sendirian." Anet mendongak menatap Bian.
"Dan apa kamu tidak kasihan denganku? Mungkin kejadian itu sudah lama tapi aku masih ingat jelas dengan semuanya. Pria itu yang menghancurkan keluargaku. Membuatku dibenci oleh ayahku sendiri. Di akhir hidupnya dia bahkan meragukanku sebagai anaknya. Sialan, aku merasa seperti seorang wanita yang sensitif."
Anet menghela napasnya. Ia meletakkan kepalanya di bahu Bian. Anet tak mengatakan apapun, membiarkan suasana hening di antara mereka. Anet tahu rasanya tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Meskipun ia memiliki seorang ayah yang begitu menyayanginya tapi ada saat di mana ia merindukan pelukan sang wanita yang telah melahirkannya.
Bian... dia tak hanya kehilangan sosok ibu ketika orang tuanya berpisah. Tapi juga ayahnya. Belum lagi Bian meyaksikan semuanya. Dari penghianatan ibunya hingga bagaimana perlahan ayahnya berubah. Bian memang sudah dewasa ketika semua itu terjadi tapi Anet yakin hal itu tak mengurasa rasa sakit yang tertoreh di hatinya.
"Mungkin suatu saat aku akan memaafkannya. Untuk sekarang, aku belum bisa. Mereka tiba-tiba saja muncul kembali di hidupku."
Anet mencium rahang Bian.
"Terserah om saja, yang penting om ada niat untuk memaafkan mereka. Jadi sekarang, om mau duduk di sini semalaman?"
"Tentu saja tidak. Nanti kalau ada yang melihat kita, pasti ada yang mengira kita mau berbuat mesum. Aku sih tidak masalah diminta bertanggung jawab dan menikahimu tapi aku tahu kamu masih belum mau menikah. Lamaranku kemarin pun kamu tolak."
Anet masih belum mau memikirkan menikah. Dirinya masih ingin fokus pada pendidikannya dan menikmati masa bebasnya. Salah satu temannya ada yang menikah muda. Anet sering mendengar keluhan temannya tersebut. Dari mulai kebiasaan tidur suaminya yang ngiler hingga kerepotannya mengurus rumah. Anet masih belum siap untuk menghadapi segala masalah yang ada dalam pernikahan.
"Bagaimana lagi? Aku hanya bisa bersabar menunggu kamu setuju kan? Mau cari yang lain, takut digantung."
Anet menunjuk wajah Bian dengan jarinya. Mengisyaratkan supaya Bian menghentikan kalimatnya. Tanpa diduga, Bian justru menggigit jari Anet.
"Om!"
"Kamu yang tidak sopan, Sayang. Jangan menunjuk orang seperti itu."
Anet mengelap jarinya dengan baju Bian.
"Tapi nggak perlu gigit juga," gerutu Anet.
Bian mengecup bibir Anet singkat. Ia mempererat pelukannya. Dirinya tak pernah berpikir untuk jatuh cinta pada wanita bar-bar ini. Dulu, baginya Anet hanyalah seorang wanita menyebalkan yang tak bisa menjaga mulutnya. Anet tak ragu untuk mengungkapkan kalimat frontal yang kadang mengganggu telinga Bian.
"Anet, jika nanti kamu bosan denganku, bilang saja. Jangan mencari laki-laki lain di belakangku."
"Kalau di depan boleh ya, Om?"
Bian menarik hidung Anet karena gemas dengan wanita itu yang tak bisa diajak bicara serius. Bukan hal tak mungkin jika apa yang terjadi pada keluarganya akan terjadi juga pada hidupnya kelak.
"Om hari ini melankolis banget. Tenang saja, Anet itu setia. Cuma pas pengen aja, lihat-lihat yang lain." Anet mengedipkan matanya, menggoda Bian. Tentu saja dirinya tidak akan mencari lelaki lain. Bian saja sudah cukup untuknya.
"Wajahnya jangan curiga begitu. Aku hanya bercanda. I love you, Om."
"Love you, More." Bian mau berbicara lebih banyak tapi mereka terganggu dengan suara keras salah seorang warga yang menegur mereka.
"Kalian berdua kenapa ada di sini? Mau mesum ya?!
*******
End... Finish... Sekian dan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seducing Mr. Gay
Romance'Gay sialan, aku sumpahin dia jatuh cinta pada wanita yang cerewet dan merepotkan!" Gk bs bkin deskripsi, mnding lngsung baca part 1 aja. Bukan cerita bxb