Satu

8.3K 172 1
                                    

"halo kamu Febby ya?"

Aku tersenyum mengangguk, aneh sekaligus takjub pada cowok yang tiba-tiba saja ada di sekitarku. Sedikit aku meliriknya lewat ekor mata, dia masih tersenyum. Dua lubang dipipi kiri dan kanan, menambah kadar manis senyumnya. Giginya rapi berbehel, sedangkan poni lemparnya berkibar saat angin sepoi membelai. Kulitnya agak kemerahan karena tersengat matahari pagi yang sedang semangat bersinar.

Gadis disampingku juga tersenyum entah sekenario apa yang mereka rencanakan, aku merasa seperti sedang bermain drama dengan seorang sutradara yaitu sepupuku sendiri, Sinta.

Cowok berlesung pipit masih berdiri disampingku, sementara aku masih sibuk memegang kamera membidik hamparan sawah sejauh mataku memandang. Sesekali mengamati lewat layar tapi konsentrasiku sedikit buyar. Si lesung pipit masih terus mengamati ku, membuat ku gugup. Jepretan kameraku berakhir buyar, aku memutuskan untuk banyak menjepret gambar. Soal hasil biar nanti saja aku periksa di rumah.

"Kenalan dong," dia mengulurkan tangannya, masih tersenyum manis. Dua lesung pipitnya membuatku sedikit tak fokus.

Aku melirik tanganya yang terulur, Sinta menyikut lenganku memberi isyarat supaya aku lekas menerima uluran tangan cowok berlesung pipit. Aku menerima uluran tangan itu, senyumnya semakin lebar memamerkan deret gigi putihnya berhias behel hitam.

"Aku Satria, kamu nggak usah sebut nama kamu aku udah tau."

Astaga...perkenalan macam apa ini, tentu saja alisku menukik tajam menandakan bahwa aku tak habis pikir, kenapa cowok ini lucu sekali. Ah ini bukan perkenalan tapi pernyataan dia menyatakan namanya, iya benar seperti itu.

Sinta tertawa lepas disampingku, membuat ku semakin bingung disini. Pasti Sinta merencanakanya sejak jauh hari, mungkin juga chat Satria salah satu sumber kekesalan mas Reynal tempo hari. Ah mas Reynal, apa kabar dia ya?

"Kamu jangan bikin aku grogi dong," ucap Satria menatap kesal Sinta, menyita perhatianku. Bibirnya yang agak tebal itu mencebik kesal, seperti bebek.

"Ya elah bang lu udah grogi dari awal ngikutin kita kali," dahiku berkerut, sejak kapan dan darimana kita di ikuti Satria? Niat bener ini orang satu.

Muka Satria merah padam. Kenapa ada cowok selucu dia hahaha. Mereka, iya mereka Shinta dan Satria duo S tanpa aku tengah asik mengolok satu sama lain. Sinta tentu saja bermulut pandai dalam hal meledek.

Aku sedang menyingkir sejenak dari kehidupanku yang biasa. Melarikan diri ke  perbatasan kota yang masih asri, sawah terhampar sejauh mata memandang sebagian sudah mulai berwarna kuning, nun jauh disana bukit berjejer memanjang, di tengah sawah mengalir sungai berair tenang. Segerombol burung emprit, beberapa burung Kuntul menambah riuh suasana pagi ini.

Kadang saat bicara mulut kita mengeluarkan asapnya, sudah macam sedang musim dingin di negara empat musim, bisa di bayangkan seberapa dinginnya kan? Aku sampai keluar ingus pagi ini tak seperti biasanya. Dengan sedikit memaksa Sinta, pagi ini aku bisa jalan-jalan, berburu sunrise yang sinarnya jatuh menyorot sawah. Rasanya seperti menemukan ladang emas, indah sekali.

"Kamu masih lama disini Febb?"

Aku menengok Satria, dia tepat berada di belakangku, mengekorku menyusuri petakan sawah.

"Sampai liburan habis, kayaknya." Ku angkat kedua bahuku, tak berani menatapnya lama. Bahaya, Satria punya mata yang teduh menghanyutkan, tak beriak tapi dalam.

"Oh" jawabnya sambil menatap jauh ke sekumpulan burung emprit yang hinggap di sepetak sawah didepan kami.

Kami diam, aku benar-benar menikmati udara pagi yang amat sejuk bahkan cenderung dingin. Sesekali mataku memperhatikan bapak atau ibu petani yang mulai berangkat ke sawah dengan mengayuh sepeda, ada yang membawa keranjang berisi bekal mereka di boncengan bagian belakang, ada yang membawa cangkul atau sabit dibagian jok belakang sepeda mereka. Saat mereka lewat aku tersenyum sambil menganggukan kepala, tanda menghormati mereka.

"kamu ramah amat, murah senyum," ujar Satria disampingku.

Kali ini kami sudah duduk berderet dipinggir jalan kampung yang lumayan lebar untuk satu mobil, jarang sekali mobil yang lewat. Aku bengong memikirkan manusia macam apa Satria ini. Sesekali aku mencuri pandang ke arah Satria, jika tertangkap basah aku langsung memandang ke arah lain. Malu, mukaku sekarang pasti mirip warna stroberi yang mulai ranum.

"Yo....yang kacang yang mijon akua akua" canda Sinta setelah kami diam cukup lama.

Candaannya garing, aku menatap Sinta sebal, Satria mencebik menatap ke arah yang sama lalu sepersekian detik mata kami bertemu. Hanya sebentar memang tapi pipiku ngilu, panas dan aku rasa aku tak bisa lama-lama disini, bisa bahaya, mataku maunya terus melirik Satria. Mencoba menangkap sebanyak mungkin tingkah lakunya, merekam sedetail mungkin bagaimana cara dia tersenyum. Dan lagi jantungku rasanya lemas karena dari tadi harus bekerja ekstra, dua kali lipat berdetak lebih dari biasanya. Satria itu berbahaya!

repub, 19.06.20

KEDUA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang