Usai solat subuh berjamaah bersama, aku dan Sinta segera bersiap, kami menggunakan satu ransel yang berisi air minum dan beberapa snack yang kemarin kami beli di supermarket. Ada beberapa roti kemasan, untuk jaga-jaga jika nanti di jalan kami lapar.
Rencananya kami akan tracking ke salah satu bukit yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah Sinta. Sekitar dua puluh menit menuju bukit, sedangkan ke atas bukit mungkin kurang dari 30 menit bisa kurang jika tracknya tak terlalu sulit.
Om Ridho dan tante Nita sudah tau kami akan kemana hari ini, karena aku dan Sinta sudah merencanakannya jauh hari tepatnya saat hari pertama aku datang kesini. Mereka hanya berpesan agar kami hati-hati. Subuh yang dingin di kaki lembah, aku sudah memakai jaket hiking dan sandal gunung begitu pun Sinta. Jalan raya masih sepi, udara yang amat dingin membuat persendian terasa ngilu. Saat motor berbelok dari pertigaan aku merasa ada motor lain yang mengikuti kami.
"Dek sapa tuh? ngikut mulu dari tadi."
"Iya ngikutin emang dari tadi," Sinta menjawab kalem, aku mulai sedikit panik.
"Hah! Siapa tuh? Ngikutin dari tadi kok kamu gak bilang sih, kalo mereka niat gak baik gimana ish!"
"Ih Kak Fe itu tuh Satria sama temennya tau, tenang aja sih."
"Lah kok bisa?"
Sinta cengengesan "ya berdua doang aku mana berani kak Feeeee."
"Ya kan kamu bisa bilang dulu, lama-lama nyebelin ya kamu dek."
"Ya kalo bilang dulu kan gimana gitu kak. Lagian kan udah kenal jadi enggak papa lah. Kakak senengkan ada Satria haha"
Satria lagi? cowok aneh itu lagi. Nggak tau apa yang dipikirin sama Sinta, bukannya GR atau gimana, kayaknya Sinta mau deketin aku sama Satria.
Kami sudah sampai tujuan, Satria melepas helm fullfacenya mengibaskan poni lemparnya lalu tersenyum dengan dua lesung pipi yang membuatku langsung membeku menatapnya.
"Ini minun dulu," tangannya menggantung mengulurkan sebuah tumbler "bukan racun tenang aja,"
Dari aroma yang khas menguar aku tahu ini wedang jahe. Setelah beberapa tegukan badanku rasanya lebih hangat. Aku tengok Sinta pun begitu, minum wedang jahe yang di bawa teman cowoknya.
"Itu khusus buat kamu, biar badan kamu lebih hangat, kalo mau hiking tuh mesti gitu," katanya sambil menyimpan botol tumbler ke dalam bagasi motor.
"Masa?"
"Buktinya aja."
Kami tiba di bukit tertinggi matahari mulai muncul perlahan sinarnya yang kuning sungguh memukau. Aku dan Sinta berdiri ditengah sementara Satria dan satu temannya mengapit kami,pandangan mata kami terfokuskan pada satu titik ufuk timur. Ternyata tak hanya kami dibukit ini,ada beberapa manusia lainnya juga yang sedang menikmati sunrise pagi ini.
Sinta dan satu teman Satria beralih ke batu lain lalu duduk, aku yakin mereka pacaran tapi entahlah aku akan menanyakannya nanti sepulang dari sini mungkin. Satria sudah duduk disampingku, aku pun duduk karena rasanya kaki ini sudah kebas di pakai jalan menanjak terus.
"Boleh pinjem tangan kiri kamu?"
"Buat apa?"
"Boleh enggak?"
Aku mengangguk, mengamati raut mukanya saat dia meraih tangan kiriku mengeluarkan spidol merah dari sakunya lalu mulai menulis huruf demi huruf di punggung tanganku.
Fabhiandra Satria
"Ini nama aku. Sekarang giliran kamu, gantian."
Dia memberiku spidol dan mengulurkan tangannya, aku ragu.
"Ih apaan sih, kek bocil," meski mencibirnya, aku tetap menulis namaku ditangannya.
Meski ini norak tapi pipiku terasa panas, jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat.
Asyifa Febbiantya
Dia menarik tanganku sejajar dengan tangannya lalu mengambil gambar kedua tangan kami dengan background sunrise hari ini.
"Sepidolnya mencolok banget."
"Aku bahagia," ucapnya dengan tawa lebar yang mau tak mau juga menular padaku dengan riangnya. Bahagia yang Satria rasa, aku juga merasakanya, sepertinya definisi bahagia yang kita punya sama, sesederhana itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEDUA (END)
Teen Fiction⛔ REVISI ⛔ Beberapa part mungkin hilang sementara. Satria selalu bisa menyita perhatiannya, sebagian besar waktunya, bahkan harinya tak lengkap jika tanpa Satria. Walaupun mereka sama, hanya bisa berbagi kisah, membagi sisa cinta setelah yang perta...