Libur dua minggu pada semester satu yang singkat dan empat hari sudah aku di pinggir kota ini, tempat yang nyaman untuk memperbaiki pikiran dan hatiku, menenangkan otakku dari banyak hal. Hai jangan kira manusia yang masih bernafas tak punya masalah, semua manusia pasti punya masalahnya sendiri. Kadang hal yang kita anggap sepele bisa jadi sumber masalah untuk yang lain.
Pagi ini aku sedang menonton Doraemon sambil sarapan, Sinta yang baru bangun pun segera ikutan mengambil sarapan lalu duduk disampung ku, tenang dia sudah gosok gigi dan cuci muka. Entah bagaimana rasanya setelah gosok gigi langsung sarapan. Sinta kadang memang seabnormal itu.
Kami sarapan dengan lahap. Menu kali ini salah satu makanan yang aku sukai, sego Megono hangat. Sego Megono makanan yang cukup unik, nasi, lauk dan sayuran dicampur jadi satu. Ada teri, sayur urab, sayur nangka dan banyak isi lainnya.
"BTW kak, Satria nggak hubungin kamu?"
"Satria?" keningku mengkerut, menyodorkan segelas air putih melihat Sinta kesulitan menelan makanan yang dia kunyah.
"Iya Satria, dia tuh udah punya nomer kakak lama loh, nggak pernah gitu hubungin kakak?"
"Enggak tuh, kok bisa dia punya nomer aku?"
Sinta menggeleng, mengangkat kedua bahunya naik turun. Pipinya menggembung, aku cubit pahanya, Sinta menjerit sambil melotot. Membuat nasi yang dia kunyah sedikit berhamburan keluar, benar-benar jorok dasar Sinta.
"Cewek tuh makan yang baik, keselek tau rasa kamu."
Sinta cemberut lalu minum seteguk air lagi "Dia pernah mastiin ke aku, ini beneran nomer kakak bukan. Yang aku telfon pas rame banget itu loh, yang pada cie-cie, inget enggak kak? yang katanya kakak lagi nonton bola sama Reynal itu loh."
"Oh...yang pada berisik panggil-panggil nama aku?"
Sinta mengangguk "iya itu temen-temennya pada ngeledekin Satria, lagian cemen dia."
"Kamu kok kayaknya akrab banget sama Satria?"
"B aja kak, kenal doang, enggak akrab-akrab banget. Dia itu temennya, temen aku. Sering latian band bareng juga, dia keren loh kak kalo lagi pegang gitar bas," dua jempol Sinta terangkat, aku hanya geleng-geleng kepala.
"Temennya temen mu apa demenan mu hemmm?"
Sinta melotot, wajahnya sudah mirip buah stroberi setengah ranum. Aku tertawa puas setelah berhasil menjahilinya.
Tanpa Sinta sadari dia sudah memancing rasa penasaranku, penasaran siapa Satria cowok unik bin aneh yang dua hari lalu menemani aku dan Sinta jalan-jalan menikmati udara pagi di sepanjang sawah dekat sungai Sindu. Aku penasaran kenapa rasanya dia sangat tau tentang aku tapi aku sama sekali tak tau sedikitpun tentang dia, bahkan namanya pun baru aku dengar saat pagi itu Satria.
.
.
.
"Kak.....buruan lama bener dari tadi juga."
Teriak Sinta dari lantai satu, suaranya yang berisik selalu sukses bikin aku sakit telinga. Sebaiknya aku bergegas turun sebelum suaranya semakin bikin mual telingaku. Hari ini niatnya kami pergi ke salah satu toserba yang ada disini, membeli peralatan tulis nemenin Sinta. Dari tadi dia semangat banget, enggak tau kenapa.
"Kakak yang bawa motornya ya?"
"Enggak mau, enggak tau jalan."
"Yah kakak, sambil ngapalin jalan juga, masa udah sering kesini nggak hapal jalan mulu sih, nanti kalo nyasar kan nggak lucu!"
"Apa gunanya kamu dong."
"Ih kakak mah gitu banget."
"Iya deh, nanti kalo waktunya belok bilang jangan diem aja kaya biasanya."
Sinta menyeringai puas mengulurkan kunci motor. Kami bergegas memakai helm lalu melajukan motor pelan sambil ngobrol soal sekolah dan menghapal jalan. Aku memang payah dalam menghapal jalan, kemanapun aku pergi aku hanya akan lewat satu jalan yang biasanya aku lewati. Selain merasa aman, aku terlalu malas untuk mencari tahu berapa jalan yang bisa dilalui untuk menuju suatu tempat, ribet.
Lima belas menit motor sudah terparkir di pelataran toserba. Sinta sangat antusias belanja, mengunjungi lorong penuh kosmetik, pernak pernik cewek, dan yang terakhir baru menyusuri lorong perlengkapan sekolah.
Sinta sudah menawariku ini itu, aku hanya menggiyakan saja barang yang sekiranya aku butukan. Misalnya lipblam dan cat kuku berwarna merah gelap, lalu satu set ikat rambut korea berwarna merah gelap.
Sebenarnya aku amat sangat malas belanja hari ini, tapi Sinta sebagai gantinya besok dia bakal ngajakin aku kebukit liat sunrise. Jadi nggak papa deh bosen nemenin Sinta belanja muterin toserba.
"Eh maaf mas," tak sengaja troliku menabrak seseorang, dia berbalik lalu tersenyum.
"Nggak papa mbak," aku membantunya memungut beberapa cemilan yang jatuh dari tangannya.
"Maaf ya mas, nggak papakan? ada yang sakit?."
"Santai aja. Eh kenalan boleh enggak?" aku agak bingung tapi aku menyambut uluran tangannya sambil senyum rikuh.
"Aku Yayan, boleh pangil Yan atau Yang juga boleh."
Aku melotot, kelihatanya orang ini suka bercanda.
"Bercanda mbak," dia tersenyum jenaka, menatapku dengan raut penasaran yangketara.
"Hai Yan, aku Febbi, salam kenal ya."
Kami bersalaman, lalu ngobrol sebentar, Yayan minta tolong di temani memilih beberapa buah dan sayuran pesanan mamanya. Aku jadi belanja berdua sama Yayan menemaninya ke kasir, berakhir duduk dibangku panjang dekat tempat minuman, aku mengambil dua botol air mineral menyodorkan salah satunya pada Yayan meneruskan obrolan kami yang semakin seru. Nggak tau juga kenapa bisa langsung akrab sama Yayan.
Repub, Rabu.15.7.20
KAMU SEDANG MEMBACA
KEDUA (END)
Teen Fiction⛔ REVISI ⛔ Beberapa part mungkin hilang sementara. Satria selalu bisa menyita perhatiannya, sebagian besar waktunya, bahkan harinya tak lengkap jika tanpa Satria. Walaupun mereka sama, hanya bisa berbagi kisah, membagi sisa cinta setelah yang perta...