SETITIK EMBUN DARI ELANG
Kamis, 8 Maret 2018***"Untuk bisa merasa bahagia, ternyata tidak serumit yang kita bayangkan...layaknya angin bertiup..., hadir memberi kesejukan pada semesta.....Yah... kebahagian itu tercipta dari... bagaimna kita menyederhanakan pikiran kita...menyikapi suatu masalah"***
"Lee.... ini kata bijak dari Elang yang aku dapat dari catatan lepasnya. Sederhana memang..., bahkan terkesan sangat datar....akan tetapi muatannya dapat memberi energi buat sebuah transformasi."
Mendengar kata Bibib..., Lee senang...., sebab perlahan kepercayaan dirinya mulai tumbuh kembali. Jari-jari tangannya kembali bermain indah di atas tombol laptopnya. Meski memang tenaganya belum sepenuhnya pulih. Namun bagi Lee..., ini adalah sebuah kebahagiaan..., bisa menyaksikan wajah Bibib sedikit cerah...dan mendengar kembali suaranya yang selalu tegas...namun tetap mengalun indah."Gaya Elang memang selalu begitu Lee. Apik memyimpan duka...., namun piawai mengemas kebahagiaan. Dan aku...sudah sangat khatam dengan gayanya itu."
Sekilas nampak ada senyum di wajah Bibib. Menyaksikan semua itu....,Lee pun ikut tersenyum. Ada sejumput bahagia mengalir.... memenuhi rongga dadanya."Bagi Elamg... bahagia itu adalah... apabila bisa berkumpul bersama kawan-kawan..., sambil ditemani secangkir kopi hitam. Bahagia itu.... adalah... berselancar.... berburu imajinasi lewat sebuah kepulan asap. Elang ada... rokok pun bersamanya.... dan itu juga bahagianya. Bahagia itu... jika... bisa berdiskusi ...bicara tanpa batas dan sekat... lalu mengabaikan waktu. Yach... hanya sesederhana itu. Tak ada sesungguhnya yang naif... namun lebih nampak sebagai ekspresi kebahagiaan yang amat klasik."
Wajah Lee nampak sumringah mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari lisan Bibib. Ia pun menatap wajah Bibib lekat-lekat sambil menunggu kalimat selanjutnya. Namun Bibib malah terdiam...terpaku... dan kembali tanpa ekspresi. Mendadak... wajah pucatnya kembali seolah diselimuti mendung.
"Bib.... ada apa lagi.... Kamu kok diam begitu." Lee menegur Bibib..., namun tetap tak ada reaksi. Ia malah duduk terdiam lemas. Ada kepahitan yang membias di wajahnya. Empatinya ke Elang... kembali membelenggu asanya. Bibib meradang.
Namun suara Bibib kembali terdengar meski dengan nada yang amat kelu.
"Itu sesungguhnya hanya sebahagian kecil dari cara Elang memaknai sebuah kebahagiaan...,Lee." Selebihnya... hanya aku yang tahu. Hanya aku yang bisa berempati dengan rasanya dan dunianya.
Aku yang tahu segenap kegelisahannya..., saat menanti malam segera beralih... berganti pagi. Aku yang merasakan lelahnya... saat siang hari datang memberi penat dan mengalirkan peluh. Aku Lee...., yach.... hanya aku....yang bisa menyelam di kedalaman jiwanya..., saat batinnya memanggil."Bibib kembali terdiam.... Sementara Lee hanya bisa menghela
napas panjang. Ia tahu.... , Bibib dan Elang ibarat titik nadir dan zenit dalam kutub utara dan selatan. Yach... nadir dan senit yang hanya di batasi oleh selaput yang amat tipis. Bibib dan Elang ibarat tangan kanan dan tangan kiri. Jika salah satu terluka... maka yang lainnya pasti akan mengobati."Lee..... meski hanya setitik embun...., tapi... Elang telah menitip kenangan buat kita dan buat kehidupan kita. Bahwa... bahagia itu sederhana.... sesederhana kita memaknai kehidupan."
"Ia Bib.... dan... buat kamu... buatlah hidup dan kehidupanmu menjadi bahagia... " Suara Lee terdengar lirih berbisik di telinga Bibib.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN RASA
Short Story**Waktu yang akan mempererat persahabatan kita.... dan rasa yang akan menguraikannya***