Part 38

38 27 0
                                    

DALAM KEBIMBANGAN
10-07-2018

"Elang. Hari ini pas 11 bulan pertunangan aku dan Lee. Dan itu berarti tinggal menghitung hari, pernikahan kami akan segera berlangsung. Tepat di bulan Juni tanggal 17. Tanggal yang sengaja dipilih oleh Lee sebagai hadiah ulang tahun buat aku, Lang."
Bibib menulis email buat Elang, sambil dipangkuannya tetap ada foto Elang yang setiap saat ditatapnya.

"Lee yang dengan penuh kebesaran jiwa, telah memberiku tempat di hatinya meski ia tahu betul bahwa aku hingga saat ini belum dapat membingkai dirinya dengan utuh dalam jiwaku." Bibib meneruskan kalimatnya

"Kamu pasti tahu Lang jika aku bukanlah tipe perempuan yang begitu mudah goyah. Tapi Lee datang dan mengabaikan semua itu. Lee datang dan mencoba masuk dalam kehidupanku tanpa pernah meminta apapun sebagai balasannya Lang. Lee yang dalam kesehariannya nampak tenang dan bersahaja hanya memberiku dan mencurahkan cinta dan kasih sayangnya tanpa berharap sebaliknya dari aku."

Sejenak, jari tangan Bibib berhenti menyentuh tombol-tombol huruf di smarthphonnya. Bingkai foto Elang yang ada di pangkuannya  kembali ia pandang lekat-lekat. Wajah Elang yang menatap nanar seolah menghujamkan belati yang tajam ke sukma Bibib.
Bingkai foto Elang pun lalu ia bawa ke dalam pelukannya, didekap dengan erat, seolah ia tidak akan pernah melepasnya lagi.

"Maafkan aku Lang." Sebuah bisikan halus terdengan lirih dari kedua bibir Bibib.
Jari tangannya yang ramping menyeka air mata yang mulai mengalir dan tak bisa ia bendung.

"Aku tidak sanggup Lang. Bagaimana mungkin aku bisa berkhianat pada jiwa dan nuraniku sendiri. Bagaimana mungkin Lang?!" Suara Bibib kembali meluncur setengah merintih.
Foto Elang yang diam membisu dalam bingkai emas ia tempelkan di pipinya yang kian pias.

"Bagaimana mungkin aku kelak bisa berjalan di sisi Lee jika jiwaku tetap dalam rintihan dan kegamangan. Aku tidak kuat Lang. Sungguh tidak kuat."
Jeritan Bibib kian terdengar lirih dalam suara yang serak yang melemahkan seluruh saraf yang mendengarnya.

"Bicaralah padaku Lang. Bicara. Bicaralah Lang.  Kamu jangan hanya diam membisu seperti ini. Aku membutuhkan kamu Lang,  tapi kamu malah hanya diam. Kenapa Lang,  kenapa kamu hanya diam."
Bibib kembali tak sanggup membendung asanya. Air matanya mengalir membajiri ke dua pipinya yang kian tirus.
Bibib terus bicara pada foto Elang seolah ia berhadapan dengan raga Elang. Ia mengabaikan akal sehatnya. Ia mengabaikan pikirannya bahwa yang ia hadapi hanyalah sebuah gambar yang tidak akan pernah bisa mengucapkan meski itu hanya satu kata.

"Elang.
Aku tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Aku hanya punya hati, jiwa dan nurani. Didalamnyalah aku menyimpan apik orang yang aku cintai, yang aku kasihi dan yang aku sayangi. Aku melindunginya dari dahsyatnya gerusan gelombang kehidupan. Aku melindunginya dari paparan panasnya sinar matahari dunia yang setiap saat bisa memudarkan kemilaunya. Dan aku merawatnya dengan sepenuh hati dan jiwaku agar ia kekal bersama kehidupanku. Aku menyimpannya di sana biar ia aman dan tak satu pun yang bisa mengusiknya. Meski aku sangat paham bahwa raganya tidak selalu bisa aku bawa dalam dekapanku.*** Dan aku yakin kamu pasti tau siapa dia Lang. Karena orang itu adalah kamu. Dan bukan Lee."***
Jiwa Bibib kian merintih dalam kebimbangan.

Dan dalam kebimbangan ia kembali meraih smartphonnya dan menorehkan kata demi kata dalam email buat Elang.
"Tanggal 17 Juni Lang. Kamu masih ingat tanggal itu bukan?!  Dan di tanggal itu pula nanti aku dan Lee akan berada dalam satu ikatan yang sama. Aku dan Lee akan menjadi satu dalam sebuah kehidupan. Satu dalam sebuah ikatan yang aku niatkan hanya terjadi sekali seumur hidupku.
Tapi aku bimbang Lang. Aku bimbang."

Guratan kebimbangan kian nampak di wajah Bibib. Dan guratan itu semakin jelas dalam tangis yang menggoncang seluruh tubuhnya.

"Elang. Aku sungguh tidak tahu,  apakah keputusan yang aku ambil ini salah atau benar. Aku sangat bimbang Lang."

Dan dalam kebimbangan, Bibib beranjak berdiri dari tempatnya. Ia melangkah maju dan berdiri di depan jendela. Matanya menatap nanar jauh keluar seolah ingin menembus jarak dan waktu yang tak terbatas di hadapannya. Tangannya dibiarkan bersedekap di dada. Sementara batinnya sedang dalam pergolakan yang menguras habis tenanganya.

"Raga kamu terlalu jauh Lang. Sehingga untuk sekedar mendengar keluhanku, kamu tidak bisa berada di dekatku. Kamu terlalu jauh, dan aku tidak sanggup menggapaimu."

Ada asa yang tidak pernah tuntas yang terus dipendam oleh batinnya.
"Elang. Betapa ingin jari-jemari ini menyeka setiap tetesan keringat yang mengucur di wajah karena kelelahan. Betapa ingin jari-jemari ini membelali wajah yang sedang dalam keletihan, mengusap mata yang berada dalam kantuk yang tak kunjung usai,  mengecup kening lalu membuai dan membawanya ke dalam pangkuan hingga tertidur pulas dan terbawa larut dalam mimpi yang indah. Akan tetapi itu bukan wajah Lee,  melainkan wajah kamu Lang."

Bibib semakin tidak sanggup menyembunyikan suara batinnya. Kegamangan semakin membawa nuraninya untuk bersuara apa adanya jiwanya saat ini.

Tubuh Bibib kian lunglai tak bertenaga. Energinya seolah menguap terbawa dalam lara yang semakin tak berujung.
Tapi jari-jari tangannya nampak tak pernah lelah menorehkan kata demi kata dalam email buat Elang.

"Elang. Saat mata  hendak tertidur,  jari-jari tangan ini hanya bisa mengusap bantal yang tergeletak di samping. Dan saat terbangun dari tidur, mata ini kembali menatap bantal yang sama, seolah berharap kamu ada dan berbaring dengan nyenyak di situ. Tapi,  semua itu hanyalah tinggal menjadi sebuah harapan. Sebab hingga helaan terakhir dari nafasku,  kamu mungkin tidak akan pernah ada dan berbaring disisiku di atas bantal yang selalu tergeletak diam menanti hadirnya sosok kamu."

Sukma Bibib kian terpenjara dalam kebimbangan. Tarikan nafasnya seakan berhenti dipersimpangan jalan.
Ia hanya bisa tertunduk lunglai dengan tangan yang tetap menggenggam bingkai foto Elang.

Bibirnya yang gemetar menahan asa perlahan berbisik, "Elang, kepakan sayapmu akan tetap terasa di sini mengikuti setiap helaan nafasku hingga jiwa terpisah dari ragaku."











CERMIN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang