Part 31

29 31 4
                                    

JIKA ITU HANYA MIMPI
24-4-2018

Aku sengaja menunggunya di terminal kedatangan VIV. Sesaat kemudian terdengar pengumuman dari speaker informasi bahwa pesawat garuda yang membawanya swbentar lagi landing. Seluruh tubuhku dingin bagai disiram air es. Aku sedikit tidak dapat menguasai diri. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Smartphon di tanganku tiba-tiba bergetar, aku lalu menjawabnya. Tuhan... suara Elang, dia Elangku. Yah... Elang menelpon aku, berarti sebentar lagi aku dapat memandang wajahnya yang eksotik sepuas jiwaku. Sebentar lagi,  aku bisa bercanda dan membuatnya klepak-klepak. Sebentar lagi aku akan menyaksikan senyumnya yang jenaka dan gayanya yang slengek-an. Yah,  sebentar  lagi aku akan berpuas diri membenamkan wajah di dadanya yang bidang dan merasakan detak jantungnya. Sebentar lagi aku bisa menatap jauh ke dalam matanya yang teduh, berselancar di dalamnya dan membawa jiwa dan sukmaku memadu rasa dalam keheningan kasihnya yang tertata apik.

Ow, aku melihat ia telah berdiri di sana. Wajahnya sedikit pucat dengan tubuh yang terbalut sweater berwarna orange kecokelat an, warna kesukaannya. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Di melihatku. Dan sekali lagi aku mengangkat ke dua tanganku dan melambai ke arahnya. Tapi,  mengapa Elang hanya diam saja. Mengapa ia hanya berdiri terpaku tanpa ekspresi. Mengapa ia hanya menatap wajahku dalam diam. Tuhan.... ada apa dengan Elangku. Jangan beri aku kejutan yang tak sanggup ku bawa Lang.

Tapi tidak. Aku akan mendekat dan segera memeluknya. Aku akan mendekat dan membenamkan wajah di dadanya yang bidang. Aku akan mendekat dan bergelayut manja di lengannya yang kokoh. Aku akan mendekat,  dan memperdengarkan cerita-cerita konyol yang bisa membuatnya tertawa terpingka-pingkal lalu rahangnya yang kokok dan kuat menyembulkan deretan giginya yang putih bersih.

Aku berlari-lari kecil ke arahnya tak sabar ingin segera berada di dekatnya dan menumpahkan segala asa dan rasaku.  Aku tidak peduli dengan tatapan nanar ratusan orang di sekitarku. Aku terus berlari-lari kecil menyusuri lobby teminal kedatangan di bandara . Aku membayangkan diriku sebagai Siti Hajar yang berlari-lari kecil mengitari safa marwah demi cinta dan kasih sayangnya. Dan di sana, Elangku masih tetap berdiri mematung tanpa gerak. Di sana Elangku masih tetap berdiri dan menatap ke arahku tanpa berkedip.

Ada rasa yang membuncah di dada. Semakin dekat,  rasa itu semakin memberi infuls yang kuat. Semakin dekat, rasa itu kian tak terbendung. Semakin dekat,  degup jantungku semakin liar tak terkendali.

Tapi Tuhan,  ada apa dengan diriku, mengapa aku tidak juga sampai di dekatnya. Mengapa Elangku pun tidak beranjak dari tempatnya. Mengapa Elangku tidak juga berlari mendekati aku padahal aku telah berpeluh-peluh berlari ke arahnya.

Dengan segenap tenaga yang masih tersisa,  aku akhirnya sudah berada persis di hadapan Elang. Tapi mengapa Elang tetap saja tanpa senyum. Mengapa wajah Elangku demikian pucat putih bagai kapas. Padahal bukankah wajah Elang sesungguhnya amat eksotik? Oh tidak. Aku tidak percaya semua ini. Mengapa Elang tidak sedikit pun bergerak menyambutku. Mengapa Elangku tidak melebarkan tangannya dan membiarkan aku membenamkan wajah di dadanya. Elang..., ada apa dengan kamu.

Aku mulai menangis.  Aku tidak kuat menatap Elang dengan wajah seperti ini. Tanpa sadar aku mulai memukulkan kedua tanganku di dadanya. Tidak puas dengan itu, aku lalu membenamkan wajahku dan berkali-kali jidatku menghantam wajahnya.

Tapi tidak. Elang tetap tanpa reaksi. Ia tetap berdiri mematung tanpa sepatah kata yang terucap dari lisannya.

Tangisku kian pecah. Aku terduduk lemas dengan berlutut dihadapannya sambil memeluk ke dua kakinya. Tubuhku tergoncang dahsyat dalam tangis yang kian tak terbendung. Namun perlahan aku merasakan ada sentuhan halus di kepalaku. Tangan Elang mulai megelus membelai rambutku. Aku mencoba menengadah.
Namun kesedihan yang kurasa kian membawa jiwa dan sukmaku ke dalam keterpurukan. Sebab aku melihat wajah Elang tetap tanpa ekspresi. Memang ada titik-titik bening yang menetes.Namun wajah Elang tetap tak bisa kuselami.

Aku menangis tanpa bisa berhenti. Aku terus bersujud dan memeluk ke dua betis Elang. Aku memohon agar ia bicara, namun tetap saja Elang diam. Diam tanpa ekspresi.

Kembali aku merasakan elusan tangan Elang di kepalaku. Sekujur tubuhku terasa dingin dan kaku. Sayup-sayup terdengar suara berbisik di telingaku.
"Bib,  bangun Bib. Sudah waktunya pulang.
Teman-teman sudah pada ceklok dan sudah banyak yang pulang."

Sontak saja aku kaget. Aku melihat di sekelilingku dan ternyata aku baru sadar jika telah tertidur lama di ruang salat.
"Jadi tadi aku hanya mimpi ya."Tanyaku pada teman aku.
"Ia Bib,  kamu tadi mimpi menangis keras, dan kamu terlihat amat sedih."

"Ya Tuhan... aku mimpi lagi tentang Elang."
Bibib mendesah dalam keluhan.
"Mengapa harus selalu kamu Lang?!  Mengapa seluruh nadiku dialiri darah yang di dalamnya hanya ada kamu. Mengapa seluruh rangkaian saraf-sarafku tidak dimatirasakan saja biar tidak selalu mengingatkan semua tentang kamu. Mengapa Lang?!

Tangis Bibib kembali pecah. Ia duduk bersimpuh di sudut ruangan sambil memeluk ke dua lututnya. Ia tertunduk menyembunyikan wajahnya.

***"Benar kata kamu Lang. Bahwa, tatkala kita mencintai dan menyayangi seseorang tanpa sebab, maka saat itu pula kita harus yakin bahwa seribu sebab sekalipun tidak akan sanggup mencabutnya dari hati kita."***

Jiwa Bibib kebali terguncang. Raganya pun kian lemah tak berdaya. Usahanya untuk berdamai dengan jiwa dan sukmanya kembali mengalami ujian yang sulit. Bibib tak berdaya. Ia kemudian bangkit berdiri dan  berjalan keluar dengan tubuh yang lunglai. Wajahnya kian pucat dan pias, dan semakin nampak sebab tak sedikitpun riasan yang menempel seperti kebanyakan wajah perempuan kantoran seperti dirinya.

"Elang, mengapa setiap tutur yang meluncur dari lisan kamu, kembali menguasai seluruh aliran darahku. Mengapa Lang?!"
Batin Bibib kian larut dalam dialog yang seolah tiada akhir.

"Akukah yang lemah Lang, sehingga aku tidak bisa keluar dari lorong waktu yang kian jauh membawaku. Atau aku kah yang bodoh sehingga terjebak dalam dunia kontemplatif yang tidak bisa dimaknai oleh alam?!"
Nalar Bibib yang kian menguras energi membuat langkahnya semakin sempoyongan.

Bibib pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.
"Bib, ayolah Bib, buka mata kamu."
Lee menepuk-nepuk pipi Bibib. Namun Bibib belum juga siuman.
"Buka mata kamu Bib. Jangan bikin aku cemas kayak begini. Ayolah Bib!!"

Perlahan Bibib mulai bergerak dan membuka matanya. Ia menatap mata Lee dalam-dalam. Air matanya mulai menetes. Lee pun segera mendekap dan memeluknya erat.
"Jangan khawatir Bib, aku tau apa yang membuat kamu kembali lemah seperti ini.
Berhentilah menangis, sebab di sini ada kasih buat kamu dan ada banyak cinta yang menanti kamu bertransformasi"
Lee lalu membopong tubuh lemah Bibib dan membawanya ke mobil. Pulang












CERMIN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang