EMBUN PERMATA
Sabtu, 10 Maret 2018Hujan sedikit reda.... Bibib merapikan jaket yang melekat di badannya. Ia berdiri menghadap jendela. Tatapannya terpusat ke rumput liar yang tumbuh memenuhi taman kecil tak jauh dari gazebo tempatnya berdiri. Hup... ada yang menarik perhatiannya. Setitik embun....atau lebih tepatnya... setitik air yang tersisa...menjuntai di ujung selembar reruputan. Bening.... namun seperti ada bayang indah di dalamnya. Di sampingnya... Lee berdiri... sambil kedua tangannya bersedekap....menahan rasa dingin. Sedikit nampak melamun.
"Lee... hujannya sudah reda....lanjut jalan yuk..." Suara Bibib memecah kesunyian dan dinginnya udara.
"Sabar dikit....biar hujannya benar-benar berhenti... baru kita jalan."
"Baik.... tapi aku ke taman depan dulu ya Lee..."
Tanpa menunggu jawaban dari Lee... Bibib lalu melangkah ke luar dari gazebo. Tujuannya tentu saja ke sekumpulan rumput liar yang dari tadi telah mencuri perhatiannya."Hmm.... akan selamanya bening...."
Bibib mendekatkan ujung jari telunjuknya... seolah ingin melindungi setetes air yang menjuntai di ujung sehelai rumput liar.
"Semoga saja... tidak jatuh". Bibib bicara pada dirinya sendiri. Ingatannya melayang jauh ke masa kecilnya. Di mana ia begitu suka pada embun yang menempel di bunga dan dedaunan. Namun... tiba-tiba lamunannya dibuyarkan oleh Lee... yang telah berdiri di sampingnya."Lagi ngapain kamu Bib..." Bibib menjawab pertanyaan Lee dangan sebuah senyuman. Manis sekali. Setelah berhari-hari Bibib kehilangan senyum... tentu saja...ini adalah sebuah pemandangan yang sangat indah bagi Lee.
"Lihat coba Lee...., titik-titik air ini. Indah kan...?! Rumpu-rumput liar ini kayak pakai anting yg terbuat dari setetes air. Dulu...jamannya aku masih anak-anak..., setelah hujan... aku suka sekali berlari-larian di padang rumput ditemani ayah. Aku mendatangi setiap rumput yang di ujungnya bergelantungan titik-titik air. Saat itu... aku merasa puas bila telah menyapa setiap rumput-rumput liar itu. Aku sering berkata ke rumput-rumput itu.... "titik-titik
airnya jangan dibiarkan jatuh ya..." Entahlah.... saat itu aku merasa sangat sedih jika titik-titik air itu jatuh... lalu lenyap....tak terlihat oleh mataku.""Bibib...., mungkin memang... kamu adalah salah satu mahluk yang sengaja tercipta untuk menjadi unik dan berbeda. Empatimu jauh menukik....,bahkan buat ...hanya setetes embun. Empatimu... yang begitu dalam.... menghujam...., hingga ranah yang hampir tak ternalar..., telah menyebabkan tetesan-tetesan bening .... hampir tak pernah lepas dari wajah pucatmu. Hmm... andai saja Elang pernah mendengar kisah embun bening kamu ini dari lisanmu.... maka... mungkin....."
"Lee..... kamu kok diam begitu...." Lamunan Lee seketika... buyar... terpotong oleh suara Bibib yang tiba-tiba mendekat dan menepuk pundaknya.
"Lee... aku dulu saat kecil...ingin sekali punya cincin yang permatanya kayak setetes embun...bening...bulat...Tapi.... "
"Tapi kenapa Bib..... kok nggak lanjut kalimatnya...?!
"Ah.... sudahlah Lee...gak usah diingat lagi....kita jalan lagi ya..."Bibib dan Lee lalu berjalan beriringan. Tanpa kata. Tak ada kalimat... Benak mereka sibuk dengan aksara masing-masing. Langkah kaki keduanya terus berayun... membawa mereka menyusuri jalan setepak....di bawah pohon pinus. Bibib berjalan dengan tangan tetap berada di saku jaketnya. Kepalanya tertunduk....seolah sedang menghitung langkah demi langkah yang dilaluinya. Sementara Lee berjalan disisinya mengikuti ritme langkah Bibib. Langkahnya tenang... setenang jiwanya.
"Bib.... kamu ingat Elang kan...?! "
"Iya Lee...., tapi kamu kok tau ya...?!"
"Hm....hingga helaan nafas kamu.... pun yang berkisah Bib."
"Ahhh.... entahlah Lee...."
Ada asa yang bagai tak terperih dalam nada suara Bibib.
"Aku hanya sedih Lee..., jika... setitik embun yang menetes jatuh... lalu menghilang itu... bagai...."
Kembali Bibib tidak melanjutkan kalimatnya.
Ada aksara yang tak sanggup ia ungkap. Namun wajah pucatnya yang berkisah banyak. Yach... teramat banyak. Lee yang menyaksikan semua itu...hanya bisa terdiam....juga tanpa aksara."Ah... Bibib... Melihatmu terus-menerus berduka seperti ini.... hati rasanya tercabik-cabik. Tapi apa dayaku Bibib. Kamu pun tak menyisakan walau sedikit cela untuk bisa diisi dengan sesuatu yang berbeda. Seolah ...semua rongga sel di seluruh tubuhmu hanya terisi oleh satu kata... Elang...
Yah.... Elang adalah permata embun yang telah engkau kisahkan. Elang adalah kesejukan setitik embun. Elang adalah... kebeningan permata yang ingin kau sematkan di jari manismu. Elang... adalah sahabat... yang jiwanya telah engkau sandingkan dengan jiwa beningmu. Dan aku... seperti tak bisa mendefinisikan diriku sendiri." Hup... Lee berkhayal.
Lee buru-buru menepis jauh segala pikiran yang sedikit berkecamuk dikepalanya.Sementara Bibib...., kembali berselancar bersama kisahnya.
" Di mana pun keberadaan kamu kini Lang... aku akan selalu berterima kasih ke kamu. Terima kasih ya ...Elang. .... karena telah menjadi sahabatku... Terima kasih karena telah memberi aku ritme kehidupan dengan melody yang berwarna. Kamu telah memberi tawa... meski tak lepas dari tangis. Kamu telah memberi senyum... meski tetap ada sayatan kepedihan....Kamu telah datang membawa bahagia... walau tetap menyisakan sesak. Namun kamu.... adalah ...permata embun... bening...yg telah kuikatkan di jari manisku.""Bib.... embun ini akan selalu ada setiap pagi kan...?! Dan saat matahari mulai menyembulkan wajahnya... embun itu kembali tak nampak di mata kita. Yakin... ia tidak menghilang Bib... ia hanya bersembunyi dari sengatan matahari. Esok pagi... ia pasti akan datang lagi menemui kamu dan....pasti akan terus memberikan kesejukan... buat kamu... dan buat kita semua. Suara Lee lalu menghentikan lamunan Bibib. Keduanya lalu meneruskan langkah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN RASA
Nouvelles**Waktu yang akan mempererat persahabatan kita.... dan rasa yang akan menguraikannya***