KASIH TANPA SYARAT
6-5-2018Lama Bibib terdiam, terpaku menatap lekat-lekat wajahnya di cermin. Ia menatap jauh ke dalam matanya. Dan masih tetap sama. Yang berbeda kini hanya pipinya yang kian tirus. Matanya tetap menyimpan asa yang kuat terhadap kisahnya. Mendung tak pernah beranjak. Ia tetap bergelayut manja di wajah yang selalu nampak pucat itu, meski tersamarkan oleh senyum yang selalu menghias di wajah.
Wajah Bibib. Wajah dirinya, wajah yang tanpa polesan dan wajah yang dalam duka pun tetap ada tawa. Kini wajah itu kembali ditatapnya dalam-dalam. Ditelisiknya tiap lekukan yang ada, dan tetap saja sama. Wajah yang padanya terdapat dua bola mata yang saat ia pejamkan ribuan siluet bermain hilir mudik di pelupuknya. File-file filem demi film tentang kisah dirinya berputar bermain tanpa henti. Episode demi episode mengalir tanpa jeda. Yah, tentu saja kisah dirinya dan Elang.
Ditatapnya kembali kedua bola mata yang bernaung dibawah dua buah tulang kening yang nampak menonjol. Dan bola mata itu pun juga masih tetap sama, masih tetap menunjukkan ketegasan sikapnya dan keteguhannya dalam pendirian.
Dirinya masih Bibib yang sama dengan Bibib beberapa tahun lalu. Bibib yang penuh canda meski terkadang nampak galaknya. Bibib yang yang memiliki empati yang lebih terhadap sekitarnya. Dan Bibib dengan kepekaan nurani yang begitu tajam dan menghujam sangat dalam. Bibib yang setiap tarikan nafasnya adalah perenungannya serta Bibib yang tiap langkah kakinya adalah penghayatannya. Bibib yang setiap kedipan matanya selalu menampakkan rasa yang amat dalam.
Sekali lagi, wajah pucat itu adalah wajah dirinya sendiri yang kian memantik rasa Bibib untuk kembali berselancar jauh ke dalam sukmanya.
" Aku yang tak sanggup Lee. Jiwa dan sukmaku yang tak bisa berdamai dengan kehidupanku."
Bibi bicara pada dirinya sendiri. Terasa ada kepahitan yang merambah di seluruh nadinya. Badannya gemetar menahan rasa yang bagai ingin tertumpah keluar dari raganya.Lagi, lagi dan lagi. Bibib tetap tak beranjak dari depan kaca yang menampilkan bayangan wajahnya. Disekanya keringat dingin yang mulai muncul di jidatnya. Dia mencoba merapikan rambut yang dari tadi dibiarkan tergerai tak beraturan.
"Hm, Bibib. Sampai kapan kamu terus begini. Sampai kapan Bib. Sementara waktu terus berjalan. Dan kamu?! Ah, kamu hanya terus tenggelam dalam kisah kamu. Kisah yang entah kapan endingnya."
Bibib kembali bicara pada dirinya sendiri.Bibib tetap tak beranjak dari depan cermin. Matanya kembali menatap nanar. Namun hatinya tiba-tiba bergetar kuat. Ada bayangan Elang nampak berdiri di belakangnya. Sebuah senyum tersungging di bibirnya yang kehitaman. Senyum harmless. Senyum yang kembali memberi impuls di setiap nadi Bibib. Sebuah senyum yang kembali memantik rasanya untuk bermanja di bawah tatapan damai kedua bola mata Elang.
"Tuhan, kenapa harus Elang lagi. Mengapa harus Elang yang jaraknya ribuan mill dari aku yang tetap mengisi setiap taikan nafasku. Mengapa harus Elang yang raganya tak pernah tersentuh, yang selalu hadir bermain disetiap kedipan mataku. Mengapa?! "
Hati Bibib menjerit dan tanpa bisa dibendung, air matanya pun mengucur mengalir dengan deras.
"Bib, kamu kok nangis lagi"
Lee datang dan menyaksikan Bibib dalam tangis yang amat perih. Dengan bijak Lee lalu meletakkan kedua tangannya di pundak Bibib. Ia seolah ingin mengalirkan energinya pada Bibib dengan harapan biar Bibib menjadi kuat menghadapi kenyataan.
Dan benar saja seolah mendapat jekuatan baru, ia pun lalu meraih jari tangan Lee dan menggenggamnya kuat. Kuat sekali."Lee, terima kasih banyak. Kamu telah mengerti aku."
Mendengar ucapan Bibib, hati Lee bergetar.
Ingin rasanya ia merengkuh tubuh Bibib mendekapnya dan membawanya ke dalam pelukan serta memberinya kehangatan.
Tapi tidak, Lee tidak melakukan itu. Ia hanya tetap membiarkan jari-jari tangannya dalam genggaman erat tangan Bibib."Bibib, andai saja empati kamu sedikit kamu bagi ke aku. Sedikit saja Bib. Maka akulah orang yang beruntung itu."
Jiwa dan sukma Lee menyimpan harapan."Maafkan aku ya Lee. Aku tau, ini berat bagi kamu." Sekali lagi Bibib meminta maaf.
"Kamu gak perlu meminta maaf Bib. Sebab sesungguhnya skenario kisah kita, kisah kamu, kisah Elang, dan kisah aku, bukanlah kita yang menulisnya. Kita semua hanya menjalani dan menjadi aktornya.""Tuntun aku Lee."
Bibib kembali sesegukan. Tetes-tetes bening kembali bergulir di kedua pipinya. Hati Lee semakin terenyuh menyaksikan Bibib berjibaku dengan rasanya.Bibib kembali menatap ke dalam cermin. Ia mencoba memandang wajah Lee dalam cermin. Dan tanpa sengaja, tatapan mereka beradu. Keduanya terus saling menatap seolah ingin mencari sesuatu lewat mata mereka. Lee menatap Bibib dengan penuh haru. Sebab selama ini tak sedikitpun kesempatan itu diberikan oleh Bibib. Selama ini, Lee hanya bisa menatap wajah Bibib tanpa bisa mandang mata yang penuh dengan kesenduan itu.
"Bib, aku menyayangi kamu Bib lebih dari diriku sendiri. Aku menyayangi kamu tanpa syarat Bib. Jadi tetaplah menjadi dirimu dan biarlah aku saja mengikuti ritme jiwa dan sukma kamu."
Lee berbicara setengah berbisik di telinga Bibib. Dan seolah ingin menguakan tuturnya, dengan sangat pelan Lee lalu tertunduk di kepala Bibib dan bibirnya hanya bisa menyentuh kepala Bibib dari belakang.
Dan sekali lagi Lee mengucapkan kata
"Aku menyayangi kamu tanpa syarat Bib"
Senyum Bibib nampak samar namun itu telah cukup membuat hati Lee lega dan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERMIN RASA
Krótkie Opowiadania**Waktu yang akan mempererat persahabatan kita.... dan rasa yang akan menguraikannya***