Di Minggu pagi ini terdengar suara rintikan hujan yang bersahutan pelan di luar sana, menurunkan suhu menjadi lebih dingin dari biasanya. Sosok mungil itu termenung dimeja kerja yang berada di apartementnya, tangannya menggenggam gelas dengan susu hangat sementara tugas kantornya ia abaikan.
Dengan suhu dingin dan suara hujan, siapapun secara naluri bisa menjadi melankolis, mengingat hal-hal sendu yang membebankan pikiran. Rencana awal yang disiapkan Hyungseob hari ini adalah menyelesaikan tugas kantornya di pagi hari, tapi yang terjadi pria berkulit putih pucat itu malah terbawa suasana dengan pikiran kalut.
Memori otaknya memutar ingatan yang terjadi beberapa hari lalu di apartementnya, di mana seorang pilot menemaninya semalaman, memberinya perhatian yang membuatnya merasa dicintai. Rasanya sudah lama Hyungseob tidak diperhatikan seperti itu. Ibunya hanya akan mengirimi beberapa makanan setiap awal bulan, kedua orang tuanya sangat jarang mengunjungi pria mungil itu karena jarak kota mereka yang terpisah cukup jauh, begitupun sebaliknya.
Kehadiran Park Woojin di hidupnya melalui sebuah kencan buta konyol menjadi sebuah jimat, semua yang berada di sekitarnya menjadi istimewa. Seperti mendapat pekerjaan, mempunyai direktur yang baik padanya, dan mendapat teman dengan mudah di kantornya.
Tapi salahkah kalau Hyungseob merasa itu masih kurang? Entahlah, rasanya setiap hari yang diperlukan pria manis itu adalah melihat sosok Woojin. Semuanya terasa kurang karena mereka jarang bertemu. Meskipun ia tahu kalau ini terasa aneh bila menyukai seseorang secepat itu. Apa seterusnya mereka akan jarang bertemu? Haruskah ia tetap menunggu hyungnya itu? Bagaimana kalau suatu saat keduanya sama-sama jenuh menunggu? Andai saja seorang Park Woojin bukanlah seorang pilot.
Deringan ponsel yang tiba-tiba mengejutkan Hyungseob dari lamunannya, tanpa melihat nama yang terpampang di layar ia langsung menggeser tombol hijau, "ah, ya, halo?"
Seseorang di sana tertawa pelan, "kenapa kikuk begitu? Jantungmu berdegup kencang karena aku menghubungimu?" Terdengar suara yang sangat tidak asing dikuping Hyungseob.
Hyungseob menggeleng pelan meski tahu seseorang itu tidak bisa melihatnya, "tidak, hanya saja tadi aku sedang melamun."
"Melamun kenapa? Apa karena memikirkanku?" Suara itu berdehem kecil.
Bibir pink cherrynya tersenyum tipis, "tidak, Sajang-nim. Hujan di luar membuatku memikirkan banyak hal sampai tanpa sadar aku melamun."
"Memikirkan apa?"
"Tentang ini dan itu, terlalu rumit untuk dijelaskan. Ngomong-ngomong ada apa Sajang-nim menghubungiku pagi-pagi begini?"
Jungjung terkekeh sebentar mendengar nada bicara Hyungseob yang menggemaskan seperti anak kecil, "tadinya aku ingin bertanya apa kau sibuk atau tidak, tapi sepertinya kau memiliki banyak waktu luang untuk sekedar melamun."
"Kau sudah sarapan, Hyungseob-ssi?" Lanjutnya.
Kedua mata Hyungseob secara refleks menatap piring kecil dengan sisa remahan roti dan tetesan selai strawberry yang berada di atas mejanya, "sudah, Sajang-nim. Terima kasih telah bertanya."
Terdengar Jungjung yang sedang menggumam ditelfon, "Tapi maukah kau menemaniku sarapan, Hyungseob-ssi? Teman-temanku tidak ada yang bisa menemaniku ke restauran."
✈✈✈
Saat ini kedua orang dengan asal negara yang berbeda sedang berjalan memasuki gedung kesenian yang cukup megah, dari pintu masuk sudah terdengar lantunan dari beberapa alat musik orchestra.
"Sajang-nim, kenapa kita ke sini?" Manik kelinci yang dimiliki Hyungseob menelusuri tiap sudut gedung dengan tema klasik itu. Setelah tadi menemani direkturnya sarapan di salah satu restauran bergaya kebarat-baratan, Jungjung langsung membawa Hyungseob ke tempat ini tanpa sepatah katapun. Benar-benar terasa asing di matanya.
Pria yang tetap memakai setelan jas meski bukan di hari kerja itu berjalan dengan gagah menuju meja resepsionis, "sebagai bentuk terima kasihku karena Hyungseob-ssi telah menemaniku sarapan pagi ini, aku ingin mengajakmu mendengar musik opera."
"Astaga, tidak perlu, Sajang-nim. Lagipula yang kutahu tiket musik opera sangat mahal." Hyungseob menatapi pengunjung yang berada di gedung itu dengan canggung. Pasalnya di sini semua orang memakai pakaian formal seperti kemeja, jas, dan dress. Tidak seperti dirinya, yang hanya menggunakan sweater coklat berkerah tinggi, jaket jeans berwarna putih dan celana hitam. Seperti bukan kalangannya.
"Tenang saja, Hyungseob-ssi, ini bukan apa-apa. Kapan lagi kau punya kesempatan seperti ini? Kau hidup sendirian di Seoul, dan kurasa Woojin-ssi belum tentu bisa mengajakmu ke sini, aku tahu gaji seorang supir bukan seberapa, karena aku juga menggaji supir." Ujarnya sambil tersenyum pada pria manis yang berjalan sedikit di belakangnya.
Setelah Jungjung berbicara pada resepsionis tentang nama-nama yang tidak Hyungseob mengerti dan membayar tiket dengan black card, keduanya menikmati pertunjukan musik opera. Atau mungkin hanya Jungjung? Karena selang beberapa menit, kantuk sudah menyerang otak pria Ahn itu. Seberapa kuat Hyungseob menahannya, rasanya ia semakin mengantuk karena suara para penyanyi opera yang mendayu di telinganya. Mungkin hal-hal yang Jungjung kenalkan pada Hyungseob benar-benar tidak cocok dengannya, mulai dari mengajaknya ke restoran berbagai negara di Seoul, melihat galeri lukisan, hingga menonton pertunjukan musik opera.
Manik kelinci itu terbuka secara tiba-tiba ketika merasakan guncangan dan tarikan dari sesuatu yang mengikat bahu dan pinggangnya, bunyi klakson terdengar nyaring ditelinga pria berumur 24 tahun itu. "Ya ampun, ada apa?"
"Ah, Hyungseob-ssi, maaf kau jadi terbangun. Tadi ada mobil lain yang menerobos lampu merah."
Hyungseob yang masih dalam keadaan syok mengerjapkan matanya beberapa kali, "Sa-Sajang-nim, bukankah tadi kita sedang menonton pertunjukan?"
Pria berdarah China itu tertawa sebentar, "sudah selesai, Hyungseob-ssi. Kau tertidur begitu saja saat pertunjukkannya dimulai. Tadinya aku ingin membangunkanmu, tapi wajahmu yang sangat menggemaskan ketika sedang tertidur membuatku tidak tega melakukannya."
"Maaf kalau aku terus merepotkanmu, Sajang-nim. Aku tidak bermaksud tertidur, hanya saja tiba-tiba aku mengantuk. Seharusnya kau membangunkanku saja." Hyungseob menundukkan kepalanya dan memainkan ujung jaketnya.
Jungjung melirik pria manis itu sekejap dan tersenyum, "tidak perlu merasa tidak enak begitu, badanmu sangat ringan, malah aku berharap kau bisa menambah berat badanmu, Hyungseob-ssi. Lagipula sudah kubilang kalau wajah tertidurmu sangat menggemaskan, akan sangat senang kalau aku bisa melihatnya setiap hari. Ah! Haruskah kau tinggal di mansionku? Ada banyak kamar kosong di sana, kau juga akan mendapat banyak fasilitas dan makanan yang kau mau."
Pria mungil itu memandang direkturnya dengan terkejut sekaligus kagum, "jangan bicara yang aneh-aneh, Sajang-nim. Aku sangat nyaman tinggal di apartementku yang sekarang."
Lagi-lagi Jungjung tertawa pelan, "entah bagaimana semua ekspresimu terlihat menggemaskan. Yang menjadi pasanganmu kelak pasti orang yang sangat beruntung, apa mungkin aku orang yang sangat beruntung? Menurutmu bagaimana, Hyungseob-ssi?"
Hyungseob mengendikan bahunya, "Aku tidak begitu mengerti pertanyaan itu, tapi bagiku Sajang-nim orang yang beruntung karena memiliki semuanya. Dan juga, kekasih Sajang-nim pasti sangat bahagia memiliki seseorang sepertimu."
"Aku hanya berharap orang itu adalah kau." Gumam Jungjung pelan.
ㅌㅂㅊ
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Blind Date; JinSeob
Fanfiction[WATTYS 2019] Park Woojin × Ahn Hyungseob Tentang seorang pilot, editor, dan kencan buta mereka. ✈bxb, boys love ✈Bahasa baku ✈Rated T [15-04-2019] #1 in Jinseob Start from 01.02.2018 to 09.04.2018 ===== Kebijakan pembaca di tangan sendiri ⚠Tidak su...