Your Happines 23

401 61 13
                                    

Chika dan ardi menatap bersamaan ke arah tari yang baru saja datang dan sudah duduk di samping chika.

Wajah tari terlihat jauh dari kata baik-baik saja, karena wajah wanita paruh baya itu terlihat sangat pucat dan sayu.

"mah?" panggil chika meletakkan tangannya tepat diatas tangan tari.

Tari seketika tersadar dengan tatapan bingung chika dan ardi yang ditujukan kepadanya hingga dengan cepat tari mengeluarkan senyuman nya.

"apa ada masalah?" tanya chika menaikkan kedua alisnya.
Tari menggeleng kan kepalanya ragu-ragu.

"mamah lapar. Apa kalian sudah makan? Kamu juga belum makan kan pah?" tanya tari lembut pada ardi.
Tentu saja ardi begitu terkejut karena setelah hampir satu tahun akhirnya sang isteri kembali memperlakukannya dengan lembut.

Chikapun tak ayal bingungnya, namun chika juga sadar bahwa tari melakukan itu semua karena permintaannya.

"belum, mau papah pesankan sekarang?" tanya ardi berusaha mengikuti permainan tari.

"boleh, mamah dan chika tunggu disini ya pah." ucap tari lagi. Bahkan sekarang wanita paruh baya itu terlihat tersenyum manis pada sang suami.

Setelah menganggukkan kepalanya ardi bergegas memesan makanan untuk mereka bertiga. Selagi menunggu pesananya jadi, ardi sejenak berbalik dan menatap chika dan tari yang tengah mengobrol.

Perasaan sedih itu kembali muncul ketika melihat wajah pucat chika.
Dan kembali ardi mengingat bagaimana senyuman chika terpahat ketika bertemu dengan kiraya dan juga putra.

Dari situ ardi menyadari bahwa memang hanya putra lah yang menjadi sumber kebahagiaan chika. Dan lagi-lagi ardi harus di hantui rasa bersalahnya karna terlalu memaksakkan kehendaknya pada chika.

"papah janji, papah sendiri yang akan mengembalikan kebahagiaan kamu nak." lirih ardi dalam hatinya.

Ardi kembali ke meja dengan membawa beraneka ragam jenis makanan. Ia sengaja memasan banyak makanan karena ia ingin melihat chika makan.

"astaga pah, ini banyak sekali?" tanya chika saat seorang pelayan juga membantu ardi meletakkan makananya.

"ini hanya makanan ringan chika, dan kamu tau kan porsi makan papah itu banyak sekali." balas ardi yang dengan cueknya kembali duduk di samping tari.

Ia mulai memindahkan beberapa jenis makanan kehadapan chika. chika menatap gerak-gerik ardi dengan mulut yang terbuka.

"kata ibunya ini enak." ucap ardi kembali meletakkan makanan lain kehadapan chika.

"papah please chika sedang tidak lapar. Dan ini," chika kembali meneliti setiap makanan yang sudah ada di depannya. Dan rasanya chika sudah kenyang terlebih dulu saat melihat semua makanan itu sebelum memakannya.

"makanlah sayang, itu enak." ujar tari ikut-ikutan menyuruh chika.

Chika memajukan bibirnya beberapa centi dan tentu hal itu membuat ardi dan tari tertawa, namun dalam tawanya tari juga merasakan kesedihan yang sangat luar biasa.

Ia kembali teringat dengan ucapan dona tentang kondisi chika, dan tari merasa begitu bersalah dengan kondisi putri kesayangannya itu.

"mah." tegur chika saat mendapati tari menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

"euh iya, Ayo makan." ajak tari yang segera menghapus air matanya. Chika menatap curiga ke arah tari, namun saat tari mengarahkan sendok yang berisi makanan membuat chika mau tak mau harus membuka mulutnya dan menerima suapan dari sang ibu.

Ia menyingkarjan sejenak pemikiran buruknya, walaupun chika tau ada satu hal yang mengganggu pikiran tari dan chika juga yakin itu pasti masih berkaitan dengan dirinya.

***

Tari terus termenung sepanjang sisa hari itu, bahkan ketika tari hendak tidur pun ia masih terus teringat dengan ucapan dona sahabatnya.

"apa ada masalah mah?" tanya ardi yang sudah berbaring di sisi sang isteri. Ia masih menatap tari dengan was-was karena takut sikap lembutnya akan hilang kembali mengingat tidak ada chika di sekitar mereka.

Tari menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi rongga paru-paru nya yang terasa sesak. Wanita paruh baya itu juga memainkan jemarinya yang diletakkan diatas perutnya.

"mah." kali ini ardi memberanikan dirinya untuk menyentuh tangan tari. Seketika tari tersentak dan memiringkan tubuhny agar bis menatap sang suami.

"ada apa?" tanya ardi lagi untuk kedua kalinya.

Hening sejenak.

Tari berusaha merangkai kata-katanya yang entah harus ia mulai dari mana. Satu sisi ia masih marah dengan ardi sang suami, namun di sisi lain ia butuh bantuan ardi untuk menyembuhkan chika putri tunggalnya.

"chika," ucap tari akhirnya membuka suara. Ardi terdiam dan menunggu sampai sang isteri melanjutkan ucapannya, karena dari awal ardi sudah merasa curiga dengan perubahan sikap tari ketika wanita itu menghampiri dirinya dan chika di kantin rumah sakit.

"dona mengatakan bahwa sebenarnya chika tidak memiliki penyakit serius." lanjut tari semakin mengencangkan genggaman kedua tangannya.

"pertama kali dona melihat chika, satu hal yang disimpulkan olehnya. Putri kita tertekan dan terlalu stress hingga mengakibatkan ketakutan itu muncul begitu saja tanpa tau apa penyebabnya." ucapan dari mulut sang isteri mampu membuat ardi tercengang. Ia semakin merasa bersalah pada chika karena ardi tau betul hal apa yang membuat chika sampai tertekan dan juga stress seperti ini.

"dona menyarankan untuk kita mendampingi chika setiap waktunya. Dan jika kita bisa, kita harus membuat chika terbuka tentang hal apa saja yang saat ini menganggu pikirannya. Karena hanya itu satu-satu nya cara agar chika kembali pulih." lanjut tari yang merasa panas dimatanya. Rasanya tari ingin menangis saat itu namun sekuat tenaga ia mencoba menahannya.

Tari tak mendengar respon apapun dari ardi, namun dari sudut matanya tari dapat melihat ardi yang turun dari ranjang mereka.
Sosok itupun mulai menghilang di balik tembok yang menjadi penghalang kamar mereka dengan balkon yang memang juga tersedia di kamar tersebut.

Perlahan-lahan tari pun mulai turun dari pembaringannya. Dihampirinya sosok ardi yang terlihat membungkuk sebari berpegang erat pada besi yang menjadi pembatas balkon kamar mereka.

"semua salah aku.!" ucap ardi pelan namun penuh penekanan. Bahkan tangannya yang terkepal pun ikut ia pukulkan pada pegangan besi balkon.

"andai aku tidak memaksa chika untuk menikah, mungkin dia tidak akan tertekan seperti ini." isakan mulai terdengar dari ardi yang masih menundukkan tubuhnya.

"andai aku-"

Tari yang tak tahan melihat tangis sang suami dengan cepat menyentuh punggung sang suami dan di elusnya dengan lembut.

"yang lalu biarlah berlalu." ujar tari yang entah sejak kapan juga ikut menitikan air matanya.

"saat ini mamah hanya ingin mengembalikan senyuman chika, Hanya itu pah." dengan nada bergetar tari melanjutkan ucapannya.

Kembali ardi teringat dengan senyuman chika saat putri nya itu bertemu dengan putra dan juga kiraya. Ardi sadar bahwa memang putra lah sumber kebahagiaan chika dan rasanya ardi tau hal apa yang harus ia lakukan sekarang.

"papah janji, papah akan mengembalikan senyuman chika kita mah. Papah pastikan juga putri kita akan segera pulih." ardi berusaha meyakinkan sang isteri. Di genggamanya tangan tari penuh kehangatan. Keduanya kembali menguatkan satu sama lain, karena itulah yang harus mereka lakukan saat ini untuk kesembuhan putri kesayangan mereka.

Berpegang tangan dan saling mendukung, cara itu lah yang akan mengembalikan senyuman putri kesayangan mereka. 

To Be Continued

Maafkan aku karena terlalu lama update. Semoga masih setia ya sama kisah ini 😊

Your HappinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang