1. Satu dari Tujuh Warna

501 52 23
                                    

Dari kelas 2 SD, Anggit sudah mengenal sains. Dari buku-buku pengetahuan alam yang menghuni rak di sudut kamarnya, ia mengetahui proses bagaimana terbentuknnya pelangi ; pembiasan sinar matahari oleh tetesan air yang ada di atmosfer. Ketika sinar matahari melalui tetesan air, cahayanya akan dibengkokkan sedemikian rupa sehingga membuat warna-warna yang ada pada cahaya tersebut terpisah

Dari novel-novel remaja yang pernah ia baca, meskipun jarang dan tidak banyak, Anggit juga tahu bahwa saat-saat terbaik untuk menemukan ketujuh warna tersebut adalah masa-masa SMA.

Terhitung sejak hari ini, masa SMA Anggit sendiri telah berjalan selama satu tahun, satu bulan, lebih dua hari. Namun tanda-tanda pelangi itu tidak juga muncul ke permukaan. Sekelilingnya hanya ada hitam, putih, lalu abu-abu. Kadang kala Anggit merasa cukup dengan hidupnya yang berjalan datar dan monoton, merasa cukup dengan kesehariannya yang berputar pada poros yang itu-itu saja. Mungkin memang kehidupan penuh warna itu tidak pernah benar-benar ada di dunia, hanya sebatas khayalan para penulis novel yang secara kebetulan terabadikan dalam buku. Atau mungkin ia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan warna-warna itu dengan kekuatannya sendiri. Waktu dan tenaga yang ia punya hanya cukup untuk mempelajari rumus-rumus kimia untuk olimpiade demi mengejar beasiswa. Ia memang tidak penah ditakdirkan untuk dapat merengkuh warna-warna tersebut.

Ketika pupil matanya berhasil menyesuaikan cahaya yang diterima, Anggit membuka matanya perlahan-lahan. Seperti didatangkan oleh sebaris mantra ajaib, entah darimana asalnya, seseorang telah duduk di hadapannya. Mengisi ruang pandang Anggit secara tiba-tiba sampai membuat cewek itu tidak percaya akan penglihatannya sendiri.

"Hai!" Sosok itu menyapa, tersenyum canggung.

Anggit adalah satu dari sekian banyak siswa yang telah mengenal sosok itu. Namun keberadaannya yang terlalu tiba-tiba, dan interaksi pertama yang tercipta membuat Anggit heran bukan kepalang.

"Hai," balas Anggit tak kalah canggung.

Bakti mencondongkan badan ke arah Anggit lebih dekat. Kedua sikunya bertumpu pada meja baca perpustakaan tempat buku-buku latihan olimpiade kimia Anggit terserak dalam keadaan membuka.

"Lo temennya Natasha, ya?" Bakti bertanya dalam bisikan.

Untuk beberapa saat tadi, biarpun malas mengakui, sejujurnya Anggit sempat berpikir bahwa sosok Bakti yang dihadirkan secara tiba-tiba di hadapannya tepat setelah ia berdoa merupakan satu bentuk dari terwujudnya salah satu harapannya yang paling rahasia. Namun kini ia sadar, kebetulan selucu itu tidak mungkin ada. Bakti adalah cowok kesekian yang mendekatinya untuk sekadar mengorek informasi tentang Natasha.

"Iya," jawab Anggit, lalu mulai sibuk menekuri kembali buku di hadapannya.

Anggit pun mengucapkan sebaris kalimat yang sudah pernah ia berikan kepada puluhan cowok lainnya ketika mereka menanyakan nomor ponsel Natasha. "Gue tanya Natashanya dulu ya."

"Eh kalau lagi ngobrol itu liatin yang lagi ngajak ngomong dong," cetus Bakti lalu dengan seenaknya meraih kedua tepi kepala Anggit dan mengangkatnya sehingga mereka bertemu muka. "Nah, gini."

"Apa sih!" Anggit memprotes risih lalu menghempaskan kedua tangan Bakti.

"Gue tanya Natasha dulu," sahut Anggit tak kalah kukuh. Terakhir ia asal memberikan nomor HP Natasha ke sembarang cowok tanpa seizin yang bersangkutan terlebih dahulu, membuatnya terkena omelan panjang-lebar.

"Kok gitu sih? Janji deh, gue nggak akan kasih tahu Natasha kalo gue dapet nomor dia dari lo." Bakti membentuk tanda janji dengan dua jari tangannya. Membuat sosoknya yang selama ini terkenal beringas di lapangan mendadak tampak membumi. Seolah mengingatkan Anggit tidak peduli sepopuler apa pun makhluk di hadapannya ini, Bakti tetaplah siswa tujuh belas tahun yang setiap hari mengenakan seragam yang sama dengannya.

"Lo minta sendiri ke dia aja ya," pungkas Anggit. Berniat menyudahi pembicaraan. Cewek itu lantas mulai memunguti bukunya di atas meja, merapikannya seadanya dalam dekapan.

"Please." Bakti memohon.

Tanpa sadar, Anggit kembali meletakkan buku-bukunya di atas meja. Tangannya menarik keluar sebentuk gawai dari saku rok abu-abu yang ia pakai. Mulutnya merapalkan dua belas digit angka yang disalin Bakti dengan segera ke ponselnya disertai cengiran lebar. Mungkin sudah sejak lama cowok itu mengincar Natasha.

"Thanks." Bakti menaruh perhatiannya pada buku latihan soal super tebal di atas meja, yang bagiannya sampul tercetak simbol-simbol kimia rumit. "Super banget deh lo, Nggit, setelah dihajar pelajaran seharian, masih sempet-sempetnya belajar kimia kayak gini."

Anggit meraup paksa buku-buku itu, di dekapnya erat. Mencegah Bakti membaca lebih jauh dan menjadikannya bahan ledekan.

"Lo nyindir?" jiwa sinis Anggit mendadak muncul. Cewek itu kemudian berjalan cepat mengambil tasnya di loker perpustakaan. Bakti mengikuti di belakanganya sampai di selasar.

"Eh, gue justru memuji. Kok lo sensi banget?"

"Terus gue harus bilang terimakasih gitu?" Anggit berniat meneruskan langkah sebelum mau repot-repot kembali menoleh kepada Bakti di belakangnya. "Dan gue juga nggak lagi sensi!"

Setelah itu, Anggit berlalu. Berjalan secepat yang ia bisa dan sama sekali berharap agar Bakti tidak mengikutinya. Saat itu satu tahun lebih 32 hari masa SMA-nya berlangsung. Saat itu satu dari tujuh warna pelanginya belum muncul. Saat itu Anggit hanyalah satu dari sekian banyak perempuan di sekolah yang sebatas mengagumi Bakti dan kecemerlangan karir olahraganya. Saat itu, tanpa sadar Anggit bersikap sinis tanpa alasan yang jelas.

_C-o-l-o-u-r-s_

Media ; Lorde-Greenlight

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang