30. Mereka yang Beruntung

93 20 0
                                    

Terlambat bangun sama artinya melewatkan sarapan pagi, berangkat dengan perut kosong dan tergesa-gesa melompat turun dari angkot. Berlarian sepanjang trotoar sambil berharap gerbang masih menyisakan celah untuk menyusup masuk. Setibanya di depan gerbang, sambil mengusap peluhnya yang membanjiri wajah, Anggit menyadari bahwa harapannya tidak pernah terkabulkan. Ia sudah tamat.

Langkah kaki yang sama tergesanya seperti milik Anggit tadi merapat dari kejauhan. Seeorang datang. Ternyata ia tidak sedang tamat sendirian. Anggit tamat bersama Natasha.

"Kok tumben neng-neng cantik bisa telat?" tanya Pak Didi dari balik gerbang.

"Pak tolong dibuka ya, Pak." Anggit memohon. Keberadaan Natasha membuatnya ingin cepat-cepat masuk dan membuat jarak sejauh mungkin.

Natasha tampak sama rikuhnya. Sambil memegang teralis besi ia memohon kepada Pak Didi.

"Nggak bisa gitu dong, Neng. Kalo ketahuan guru piket bisa-bisa saya yang kena." Pak Didi mengeluarkan segepok kunci dari saku seragamnya. "Saya buka tapi ada hukumannya ya, cuma hormat bendera kok. Lima belas menit, terus nanti saya mintakan surat izin masuk."

Anggit mengangguk cepat-cepat. Apa pun itu asalkan dirinya dan Natasha bisa saling berjauhan. Menatap Natasha tidak lagi seteduh dulu, tidak lagi terasa aman, seolah-olah mereka adalah orang yang telah sama-sama berubah. Mereka telah berhenti menjadi sepasang sahabat. Sejak lama.

Setelah gerbang digeser membuka, Pak Didi menggiring dua siswa terlambat tersebut ke halaman utama yang merangkap sebagai lapangan upacara rutin setiap Senin. Mereka diperintah untuk berdiri bersisian menghadap tiang bendera sambil menempelkan ujung jari di pelipis. Mendongakkan kepala untuk memandang selembar kain merah-putih yang berkelepak tertiup angin.

"Eh mau kemana?" tegur Pak Didi ketika Anggit beringsut mundur untuk memanjangkan jarak dengan Natasha. "Posisinya persis kayak tadi. Ayo, Neng, maju! Saya awasi dari depan kantor guru ya."

Dengan berat hati Anggit menuruti perkataan Pak Didi. Kembali ia mensejajarkan diri di samping Natasha. Cukup dekat hingga parfum mantan sahabatnya itu tercium, cukup dekat sampai ia menyadari bahwa Natasha mengubah warna rambutnya menjadi coklat gelap. Cukup dekat sampai Anggit merasa udara di sekitarnya menghilang hingga membuat paru-parunya kekurangan pasokan oksigen.

"Jangan benci sama Bakti."

Anggit mengerjapkan mata, mengira terik matahari pukul setengah delapan pagi berhasil membuatnya pening dan berhalusinasi. Suara barusan seharusnya bukan milik Natasha. Natasha seharusnya tidak berbicara kepadanya untuk waktu yang lama.

"Dia nggak seburuk yang lo kira." Natasha berbicara lagi. Anggit tidak sedang berhalusinasi. "Dia nggak pernah suka apalagi cinta sama gue. Dulu, dia sempat terobsesi sama gue tapi setelah dia jalan sama lo, dia sepenuhnya cuma peduli sama lo."

Di bawah matahari pukul delapan pagi, mendengar Natasha berbicara tentang Bakti, Anggit pening sungguhan.

"Gue yang mohon-mohon sama dia supaya kami pacaran." Suara Natasha memelan seolah ia malu mengakui fakta tersebut. "Gue mau lo sakit, Nggit. Gue mau Revan juga sakit. Dan gue butuh Bakti supaya orang-orang nggak ngira gue udah 'rusak' setelah putus dari Revan."

Anggit terkelu. Lama. Berusaha memahami satu per satu informasi yang disampaikan Natasha dengan susah payah. Namun otaknya terasa penuh meski informasi yang dijejalkan tidak banyak. Anggit berfikir untuk waktu yang lama, hingga masa hukuman lima belas menit mereka habis. Hingga Pak Didi membagikan selembar surat izin masuk kelas kepada masing-masing dari mereka. Hingga Natasha bergerak menjauh darinya.

Tertatih-tatih, Anggit mengejar ketertinggalannya dari Natasha. Ketertinggalan untuk segala hal yang tidak ia ketahui. Untuk masa-masa sulit Natasha yang tidak pernah ia pertimbangkan ketika ia menyuruh Revan memutuskan sahabatnya itu. Tersaruk-saruk, Anggit menyamai langkah Natasha dan menangkap sebelah lengannya.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang