27. Satu-Satunya Kawan

83 14 0
                                    

Penerimaan akan kekalahan membuat Anggit menarik dirinya menjauh. Dari Natasha dan Bakti, dari kabar-kabar yang berputar tentang mereka berdua, dari isu-isu yang disangkutpautkan tentang dirinya. Anggit mulai menjadi seseorang yang menghabiskan makan siangnya di meja tersudut kantin, dalam kebisuan karena tidak ada teman yang bisa diajak bicara.

Lalu tiba-tiba julukan baru akan ditambahkan untuknya. Anggit si anti sosial. Betapa lucu dan tak masuk akal. Mereka yang menolak Anggit bergabung ke dalam lingkar sosial mereka, menyisihkan Anggit ke tepi yang paling sepi, dan tak lupa mencuci tangan dengan membalikkan fakta yang ada. Agar mereka tak terdengar jahat dan dapat menjalani hidup dengan lebih mudah.

Sepi yang ada juga membawa Anggit lebih rajin berkelana ketika jam istirahat tiba. Hasilnya, ia menemukan lebih banyak tempat-tempat tersembunyi yang menyimpan banyak harta karun. Seperti gudang buku-buku lapuk di belakang ruangan tukang kebun, tempat novel-novel klasik dan buku-buku science bertumpuk menggunung di bawah selimut debu. Ia juga menemukan kotak kardus berisikan deretan kaset-kaset lawas yang nilainya akan begitu tinggi di tangan kolektor yang tepat. Entah itu dulunya milik siapa, Anggit memilih untuk tidak terlalu peduli.

Ia menyelipkan dua buah novel ke lipatan tangannya setelah terlebih dahulu mengusir debu-debu yang menempel di sana. Membawanya ke perpustakaan untuk dibaca di meja baca atau dibawa pulang. Seringkali Anggit bertahan di sekolah untuk satu atau dua jam selepas bel pulang. Seperti hari ini, sekolah sudah sepi ketika ia mendaratkan tubuhnya di permukanan lapangan basket. Terasa hangat oleh sisa panas matahari yang kini sudah menjauh.

Anggit menyelonjorkan kaki dengan buku terbuka di pangkuan. Ia bukan penggemar novel atau fiksi, baginya gelar bacaan paling menyenangkan akan selalu menjadi milik buku-buku pengetahuan dan jurnal-jurnal ilmiah, tetapi akhir-akhir ini ia butuh berlari pada kisah lain selain kisahnya sendiri. Ia membutuhkan distraksi, supaya ia bisa tetap percaya bahwa cinta atau persahabatan bisa sama indahnya seperti apa yang dituliskan para novelis-novelis itu.

Di belakangnya, Anggit mendengar langkah kaki lirih. Berakhir persis di belakang tubuhnya, kehadiran sosok itu diperkuat oleh sebentuk bayangan yang jatuh menyerong di depan Anggit. Menghalangi sinar lemah matahari dari kejauhan. Bayangan itu tinggal beberapa saat di sana, lalu bergerak menjauh oleh langkah kaki yang diseret mundur sepelan mungkin.

"Jadi lo mau pergi begitu aja?" tukas Anggit tiba-tiba. Ia memandang bayangan itu lekat-lekat, memohon supaya ia tinggal lebih lama.

"Gue ngerasa udah nggak punya muka lagi buat ketemu sama lo, Nggit."

"Ya udah pergi aja, Van, pergi kayak Nata, pergi kayak Bakti, jangan pernah muncul di depan gue lagi."

Pada akhirnya Revan mengadukan kedua lututnya dengan lantai semen, mensejajari punggung Anggit yang melengkung dengan gesture rapuh di hadapannya. Bahkan untuk membuat kontak seperti menyentuh bahu ringkih perempuan di hadapannya Revan tak punya cukup keberanian.

"Gue minta maaf," bisik Revan. "Harusnya gue nggak melibatkan lo dalam cerita gue. Lo nggak harus mengalami semua ini."

"Bilang sama gue, gue harus gimana?"

"Jangan pergi seperti yang lain." Anggit tidak tahu apakah ia meminta terlalu banyak. Apakah ia cukup pantas untuk meminta keberadaan Revan di sisinya. Untuk sekedar menggenapkan kesendiriannya yang terasa ganjil. Agar Anggit tidak perlu menyusuri lorong gelap sendirian lagi, agar meski seluruh dunia membencinya setidaknya ia masih tahu rasanya memiliki seorang teman. Ia menginginkan teman, seorang saja, itu sudah cukup.

Revan mengabulkan permintaan Anggit tidak dengan kata-kata, melainkan dengan tetap diam di tempatnya, perlahan mengulurkan tangan. Mendaratkan telapaknya yang lebar di salah satu bahu Anggit. Anggit balas menumpuk tangannya di sana, bahunya perlahan berguncang, kali ini ia kembali menangis. Akan tetapi ada satu yang berbeda. Kali ini ia tidak menangis sendirian. Ia menangis bersama temannya.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang