3. Dua Lubang di Ban Belakang

287 41 27
                                    

Berteman dengan kelompok tertentu, mau tidak mau, entah dalam jumlah sedikit atau banyak, tentu membuatmu tanpa sadar jadi terbawa oleh kebiasaan orang-orang dalam kelompok itu. Seperti contohnya saat kamu memutuskan untuk berkawan dengan mereka yang menggilai K-Pop. Tidak peduli seberapa besar idealismemu untuk tidak menyukai boyband, akan ada satu titik di mana rasa penasaran membuatmu pada akhirnya mulai stalking, lalu tinggal tunggu waktu sampai kamu jatuh hati kepada oppa-oppa berwajah mulus itu. Wajar, manusiawi, pada dasarnya semua manusia memiliki kadar kelatahan dalam dirinya masing-masing.

Teman adalah orang-orang yang secara tidak langsung membentuk dirimu.

Satu tahun belakangan, Anggit justru menarik diri dari yang namanya lingkungan pertemanan. Sejak SMA, ia baru tahu bahwa jenis pertemanan itu dikotak-kotak, bertingkat, dan memiliki label. Setidaknya itulah yang terjadi di sekolahnya. Ia tidak mau, juga tidak mungkin masuk dalam lingkar pertemanan kelas nomor satu seperti milik Devia, mereka yang berkuasa dan diberikan kelonggaran untuk melanggar peraturan karena memiliki tumpukan uang untuk mem-back up segalanya. Juga dipuja-puja seantero sekolah, membuat mereka yang tak seberuntung itu hanya bisa menyimpan iri di dasar hati, memilih diam daripada terlibat masalah.

Lalu ada kelas nomor dua. Milik anak-anak yang memanjat tangga popularitas oleh keringat dan karyanya, seperti Natasha yang bersinar oleh keaktifannya di klub teater sekolah. Anak-anak seperti Natasha ini biasanya berkumpul dengan anak-anak dari eskul basket, pemandu sorak, bahkan OSIS, memiliki meja khusus di kantin yang haram hukumnya ditempati kalangan luar. Dan berstatus sahabat Natasha sejak SMP, tidak lantas membuat Anggit memiliki privilege untuk bergabung dengan kelompok tersebut.

Yang terakhir adalah kelas mereka yang berprestasi di bidang akademik, pejuang olimpiade dari masa ke masa. Dicintai guru-guru, tetapi justru tenggelam di bursa kompetisi popularitas sekolah. Anggit adalah salah satunya, tetapi ia justru tidak bergabung dengan Alin, si jenius pejuang olimpiade matematika, atau bahkan Rian- si penggemar Albert Einstein. Anggit memilih sibuk bersama dirinya sendiri, kalau ada orang yang paling rajin menemaninya di waktu jam istirahat, maka orang itu adalah Alfa.

Sesosok laki-laki jangkung dengan bobot tubuh yang terlampau kurus untuk mengimbangi tingginya yang mencapai 176 cm. Di sela-sela kesibukannya mengurus beasiswa S2 ke Moskow. Laki-laki itu rajin datang ke sekolahnya dulu, membantu Anggit memecahkan soal-soal kimia yang terlampau horor untuk dipahami. Mantan pejuang olimpiade kimia yang berhasil mengharumkan nama sekolah sampai ke tingkat internasional.

"Hari ini, kita nggak usah belajar ya," kata Alfa setibanya Anggit di perpustakaan.

Bahu cewek itu langsung jatuh. Tadi ia sampai berlari dari kelas menuju ke mari karena tidak mau membuat Alfa berlama-lama menunggu.

"Loh kenapa, Mas?"

Alfa justru kembali menyandangkan tasnya di punggung. Bersiap-siap keluar. "Nggak apa-apa, kita beli jajan aja di kantin. Tapi nanti makannya di taman. Lo mau apa?"

"Mas, ada bab yang mau aku tanyain," kata Anggit keukeh.

"Ya udah nanti sekalian kita bahas di taman." Mas Alfa menggiring Anggit supaya berjalan keluar, meninggalkan sensasi pendingin ruangan dari perpustakaan. "Gue sendiri aja ya yang ke kantin. Biar cepet. Lo ke taman duluan aja. Lo mau apa?"

"Roti bakar sama air mineral aja deh, Mas. Nanti uangnya aku ganti."

Mas Alfa mengibaskan satu tangan sambil berlalu. "Udah, santai aja."

Dengan langkah gamang, pada akhirnya Anggit berjalan menuju taman. Letaknya di depan ruang terater. Sementara perpus ada di lantai tiga, jadilah Anggit harus menuruni tiga tingkatan anak tangga sebelum bisa sampai di areal paling dasar. Taman SMA Pelita Harapan tidak luas, juga tidak terlalu rimbun bahkan cenderung gersang untuk ukuran sebuah taman sekolah. Di dalamnya hanya terdapat sebuah pendopo mini yang hanya sanggup menampung dua puluhan siswa.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang