2. Kucing Bernama Mihu

275 42 18
                                    

Gerimis menitik tipis dari langit, Anggit menggunakan map plastik tempatnya menyimpan latihan soal berbentuk fotocopy sebagai penutup kepala seadanya. Meski debit air tidak mungkin sanggup membuat sekujur tubuhnya basah kuyup, Anggit tetap berusaha agar sebisa mungkin rambutnya tidak kebasahan, ia hanya tidak mau mengidap migrain setelahnya.

Anggit mengetuk pintu rumah Natasha setelah menggosokkan bagian bawah sandalnya ke permukaan keset di ujung teras. Butuh beberapa detik sampai daun pintu berukiran motif bunga-bunga rumit itu membuka dan menampakkan seorang wanita tua dengan daster batik dan rambut beruban yang disanggul semrawut. Wajah lelahnya menyunggingkan senyum.

"Mbak Anggit, hujan-hujan kok ndak bawa payung?" tanya Mbok Sedayu dengan logat jawanya yang halus dan kental.

"Nggak apa-apa, Mbok. Cuma gerimis sedikit. Aku boleh masuk?"

Mbok Sedayu segera mengiyakan pertanyaan Anggit. "Mbak Nata-nya lagi di teras belakang, main sama Mihu."

Anggit kemudian berpamitan menuju ke teras belakang. Tempat dimana Nata sering menghabiskan senggang bersama seekor kucing Persia berbulu lebat dan mata hijau yang meneduhkan. Anggit tidak berkata apa-apa setibanya di sana, namun Nata yang sedang berjongkok di depan kandang Mihu menoleh ke arahnya begitu ia mendengar suara gesekan dari map Anggit yang diletakkan di atas meja kecil.

"Eh, jam berapa sih, kok lo udah ke sini aja?" Natasha bertanya-tanya, tampak seperti orang yang benar-benar kehilangan orientasi terhadap waktu.

"Jam empat," jawab Anggit sekenanya.

Natasha kemudian berdiri, mencari ponselnya yang ternyata tergeletak begitu saja di atas kursi rotan. Memang pukul empat bahkan sudah lewat sepuluh menit. Cewek itu kemudian nyengir kaku ke pada Anggit yang sudah memasang tampang masam.

"Ya udah, gue ambil buku dulu di dalem, kita belajar di sini kan?"

Anggit mengangguk, lalu memerintah dengan agak otoriter. "Buruan!"

Natasha memberi hormat sekenanya sebelum melesat ke dalam rumah. "Siap, Bos!"

Selepas berlalunya Natasha, Anggit menghampiri kandang besi tempat Mihu bergelung. Gerimis dan cuaca mendung pasti membuatnya kedinginan. Hati-hati, Anggit menggeser pintu kandang Mihu. Sepasang mata hijau si kucing seketika terjaga, siaga, sebelum kembali sayu ketika menatap Anggit.

"Hai, Mihu!" Anggit menyunggingkan senyum lebar. Tangannya bergerak mengeluarkan Mihu dari kandangnya. Mihu menurut saja, sebelum ia bertambah manja ketika Anggit meletakkanya ke pangkuan sambil mengelus-ngelus belakang kepala kucing itu.

"Kamu tambah gemuk ya, cantik!" ucap Anggit penuh sayang. "Maaf ya dua hari belakangan nggak ke sini. Kamu kangen aku ya? Iya kan?"

Mihu memberi respon dengan menggosokkan kepalanya ke perut Anggit. Anggit tertawa lebar di buatnya. Karena geli juga karena senang. Ia memang merindukan Mihu. Empat tahun yang lalu, kucing ini adalah miliknya. Pemberian dari teman lama Mama yang harus pindah ke luar negeri karena mengurusi pekerjaan. Anggit bersikeras merawat Mihu yang dulu masih sebesar guling anak bayi meski Mama bersikeras melarangnya karena alasan biaya; harga makanan kucing Persia pasti berbeda dengan makanan kucing kampung yang biasanya hanya melahap ikan asin. Namun Anggit bersikeras, di sayanginya Mihu dengan segenap hati, di sisihkannya uang jajan demi membeli makanan Mihu.

Sekeras apa pun usaha Anggit untuk mencukupi kebutuhan Mihu, nyatanya ia memang tidak sanggup. Dua bulan setelah resmi menjadi binatang peliharaan sekaligus kesayangannya, Mihu mulai sakit-sakitan, mengidap gizi buruk sampai bobot tubuhnya turun drastis. Anggit merengek kepada Mama agar Mihu dibawa ke dokter hewan, sudah jelas Mama tidak mengabulkan permintaannya. Justru mengancam akan menjual Mihu atau membawanya ke panti penampungan hewan liar. Akan tetapi Mihu bukan hewan liar, dia kucing baik dan penurut, begitu kilah Anggit.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang