Dibanding jabatan kelas lainnya, menjadi wakil ketua bisa dibilang yang paling mudah. Mudah karena di saat bendahara kelas harus repot-repot berkeliling meminta uang kas setiap minggu, bahkan mengeluarkan tenaga ekstra untuk menagih tunggakan, mengomeli bahkan sampai kejar-kejaran. Atau sekretaris kelas yang harus rela capek-capek menuliskan materi di papan tulis ketika guru pengajar berhalangan hadir sampai jari-jari keriting. Wakil ketua kelas hanya perlu menggantikan tugas ketua kelas ketika yang bersangkutan berhalangan hadir. Dan untungnya, Rian, ketua di kelas Anggit, memiliki catatan kehadiran nihil sejak pertama kali mereka menginjak kelas 11.
Hingga tiba hari ini, hari selasa kedua di bulan Agustus. Rian tidak datang ke sekolah karena sakit tifus. Itu artinya untuk beberapa hari ke depan, tugas-tugas ketua kelas akan dilimpahkan kepada Anggit. Tugas pertama yang harus dilakukan Anggit adalah mengambil tembar ulangan harian bahasa inggris minggu lalu yang sudah dikoreksi di ruang guru. Bukan sebuah tugas yang sulit untuk dilakukan, hanya saja keadaannya yang tengah menghindari seseorang membuat semuanya jadi terasa menjengkelkan.
Anggit sengaja mengulur-ngulur waktu, barulah ketika waktu istirahat tinggal tersisa tiga menit, Anggit mulai beranjak dari bangkunya. Dengan asumsi bahwa orang yang tengah ia hindari itu sudah berada di kelasnya dan tidak berkeliaran di sepanjang koridor. Anggit berjalan dengan kepala tertunduk, menghitung jarak ke ruang guru yang terasa berkali-kali lipat lebih jauh daripada biasanya. Namun Anggit tetap bersyukur, karena doanya supaya tidak bertemu Bakti terwujud.
Sayangnya, Anggit melewatkan satu hal. Ia seharusnya berdoa supaya dihindarkan dari Bakti sepanjang hari ini, bukan hanya di perjalanan menuju ruang guru. Karena sesampainya di sana, Anggit benar-benar diberi kejutan. Bakti dan seorang temannya telah terlebih dulu ada di sana. Dengan masing-masing kepala tertunduk di depan meja guru piket yang sedang bertugas hari ini.
"Loh Rian kemana? Biasanya Rian yang ambil?" tanya Mrs. Rina begitu Anggit berdiri di depan mejanya.
"Sakit, Ma'am."
Mrs. Rina mengangguk-angguk, lalu mengeluarkan setumpuk kertas dari lacinya. Diserahkan kepada Anggit. "Maaf ya jadi merepotkan kamu. Besok saya mau ijin, jadi nggak bisa mengajar di kelas kalian."
"It's okay, Ma'am. It's also my duty," kata Anggit setengah berbohong. Mrs. Rina yang membuatnya harus bertatap mata dengan Bakti selama beberapa datik tadi, Mrs. Rina yang telah membuatnya merasa semakin tidak nyaman.
"Good girl, you can go back to your class. Thank you."
Anggit segera pamit meninggalkan ruang guru. Namun ia masih sempat melirik ke arah meja guru piket ketika beliau menyebut-nyebut tentang rokok dan hukuman. Anggit tidak mungkin salah ketika ia melihat sekotak rokok dan pemantiknya tergeletak di sana. Setelah keluar dari ruang guru, Anggit berusaha berjalan cepat, namun ia masih kelah cepat dengan seseorang yang berlari menyusulnya di belakang.
"Hei!" Itu suara Bakti. Anggit hapal meskipun ia berusaha untuk menghindari melihat wajahnya.
"Lo kenapa sih, Nggit? Sakit?" tanya Bakti lagi, cowok itu menjajari langkah Anggit.
"Ini udah masuk, kelas lo kan nggak ke arah sini," kata Anggit. Berusaha mengusir Bakti sebisanya.
"Gue mau ke WC," jawab Bakti enteng.
Sepanjang perjalanan menuju ke kelas, Bakti membunyikan banyak pertanyaan, berusaha keras membangun percakapan, yang hanya di balas Anggit dengan diam seribu bahasa. Meski kadang, lawakannya membuat Anggit tersiksa karena harus menahan tawa. Ia hanya tidak mau membuat dirinya sendiri menjadi semakin tidak nyaman.
Begitu jarak Anggit dengan kelasnya hanya tersisa beberapa meter. Di koridor yang sepi karena para siswa mulai kembali ke kelasnya masing-masing, Bakti menghentikan langkah Anggit. Cowok itu mengambil dua langkah lebih ke depan lebih cepat, berdiri persis di hadapan Anggit. Menghadang setiap ruang yang hendak dilewati Anggit. Bahkan ketika Anggit berusaha mendorongnya supaya menyingkir, tubuh Bakti terlalu kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...