"Jadi Bunga cerita apa aja tentang aku?" tanya Bakti sambil membantu Anggit melepas helm.
Anggit menunggu bunyi klik terdengar lalu mencopot helm tersebut dan menyerahkan kembali kepada Bakti. Cewek itu pura-pura memasang wajah berpikir keras. "Semua aib-aib kamu yang jelas."
Bakti mendengus. Rasanya ia siap-siap saja untuk mendebat, untuk melanjutkan percakapan dan mengabaikan sebentar rasa lelahnya, tapi malam sudah terlalu larut, di balik seragam sekolahnya yang relatif tipis, tubuh Anggit mulai menggigil halus.
"Ya udah, gih, sana masuk," ucap Bakti berat pada akhirnya. Ia tidak ingin beranjak.
Anggit agaknya merasakan hal yang sama. Setelah hari-hari yang mereka lewatkan tanpa kehadiran satu sama lain, mereka butuh lebih dari beberapa jam untuk menceritakan banyak hal. Tentang resah yang mengganggu tidur, tentang pagi penuh dilema karena keinginan bertemu sekaligus menghindar di saat yang sama, tentang asupan ucapan selamat tidur yang tidak pernah sesepele kedengarannya. Terlalu banyak jika harus dituntaskan malam ini.
"Iya, hati-hati pulangnya." Pada akhirnya Anggit menyudahi.
Ia menjadi yang pertama meninggalkan. Membalikkan badan dan meniti langkah melewati gang pendek yang mengantarnya hingga pelataran rumah. Dari sana motor Bakti masih terlihat, Anggit melihat Bakti baru melajukan motornya ketika ia benar-benar telah menginjak teras. Seolah berusaha memastikan dirinya aman.
Anggit menghela napas lelah. Sekujur tubuhnya lelah dan lengket oleh keringat, tetapi ujung-ujung bibirnya tak bisa berhenti tertarik. Ia mengeluarkan anak kunci dari tasnya, membuka pintu dengan hati-hati dan berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan berisik. Lampu ruang tamu masih menyala, menyilaukan mata lelahnya dan membuat pandangannya mengabur, tapi Anggit cukup yakin bahwa ia bisa mengenali Mamanya yang sedang duduk tegak di salah satu sofa.
Anggit terkesiap. Harusnya Mama sudah tertidur di kamarnya dengan lampu temaram yang menenangkan. "Mama?"
"Kemana aja kamu?" tanya Mama. Nadanya menyudutkan meski diucapkan dengan volume biasa.
"Dari rumah teman, Ma." Anggit berhenti menyebut rumah Natasha sebagai tameng kebohongan sejak persahabatan mereka tidak lagi jelas seperti apa bentuknya.
"Teman atau pacar?" tanya Mama lagi, lebih tajam.
"Pacar," kata Anggit setelah menarik napas berat.
Mama mengesah frustasi. "Nggit, Mama kan sudah bilang kamu harus membatasi pergaulan. Jangan gegabah."
"Anggit nggak gegabah, Ma. Dulu Mama pacaran bahkan di usia yang lebih muda dari aku, kan?" Anggit ingin sesegera mungkin menyudahi perdebatan. "Udahlah, aku capek, mau tidur."
Tapi Mama tidak semudah itu melepaskannya. "Jangan bikin Mama kecewa, Nggit."
Mama, seperti biasa, selalu tahu bagiamana cara menempatkan Anggit dalam posisi gamang. "Beasiswaku udah kembali, kalau itu yang bikin Mama cemas," kata Anggit letih, Mama bahkan tidak memberi waktu untuknya meletakkan tas beserta beban yang sejak tadi tersandang di bahunya yang kecil. "Tapi kalau Mama cemas karena takut aku nggak bisa jadi seorang anak tanpa cela yang bisa Mama pamerkan ke seisi dunia, aku takut aku nggak bisa. Aku takut aku nggak bisa mewujudkan cita-cita lama Mama yang gagal Mama wujudkan sendiri."
_C-o-l-o-u-r-s_
Yulia sengaja menutup toko kuenya hari ini. Pesanan sedang sepi, suplai bahan tersendat sejak beberapa hari yang lalu, tetapi lebih daripada alasan-alasan umum tersebut, dirinya benar-benar sedang lelah. Tidak hanya tentang masalah pekerjaan tetapi juga lelah menghadapi putrinya yang sedang beranjak dewasa, yang membuatnya kepalanya seperti mau pecah dari hari ke hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...