16. Membuat Jani-Janji

112 22 11
                                    

Ternyata begini rasanya saat bangun pagi tanpa dihantui mimpi buruk semalaman. Saat bangun pagi dengan perasaan bahagia sisa hari kemarin yang Bakti dekap erat-erat supaya tidak lupa. Saat bangun pagi dan mendapati matahari seolah tersenyum kepadanya. Saat Bakti menyadari bahwa hidupnya tidak seburuk yang ia kira sebelumnya. Ternyata begini rasanya, saat bangun pagi sambil bersyukur dan bukannya mendumal tentang tugas minggu kemarin yang belum diselesaikan, tanpa rasa kesal oleh raibnya sebelah kaus kaki yang harusnya tersimpan rapi di laci lemari.

Saat meski sendiri tetapi tidak merasa sepi.

Bakti mengoleskan pomade di rambutnya dengan bersemangat, banyak-banyak sampai jemarinya terasa lengket. Ia terkikik sendiri, lantas membereskan buku-buku ke dalam tasnya sesuai jadwal pelajaran hari ini. Lengkap. Ia melompati tangga ke lantai bawah dua-dua. Menyambar setangkup roti di meja makan tanpa selai kemudian mengeluarkan motor dari garasi sambil bersiul-siul.

Bahkan setibanya di sekolah, Bakti menularkan rasa bahagianya secara terang-terangan. Kepada Pak Didi di pos satpam yang ia salimi kedua tangannya, kepada adik-adik kelas yang diturunkan orang tuanya di depan gerbang lalu ia senyumi secara cuma-cuma, kepada setiap guru yang ia temui di selasar dan disapanya hangat. Terakhir, senyum hangatnya dibagikan kepada Bu Kantin yang membuatkannya segelas jeruk hangat.

"Jangan manis-manis ya, Bu," kata Bakti dengan kedua tangan dimasukkan saku celana.

"Iya." Bu Kantin—yang tidak pernah diketahui Bakti siapa nama aslinya masih tekun mengaduk sari jeruk yang telah ditambahkan gula dan air hangat di gelas plastik.

"Ibu nggak tanya kenapa?"

Bu Kantin melengos, sudah hapal dengan gombalan-gombalan jayus anak laki-laki macam Bakti begitu. "Takut diabetes, karena sudah merasa dikaruniai wajah manis, begitu?"

Bakti terkekeh. "Bukan, Ibu. Ini buat pacar saya, dia nggak suka manis."

"Terus pacarmu itu sukanya apa?"

"Saya." Bakti menunjuk dadanya sendiri. "Saya kan ganteng, bukan manis."

Kini ganti Bu Kantin dan beberapa perempuan yang mengantre di belakang Bakti yang terkikik geli. Barisan itu kemudian menyingkir untuk memberi ruang ketika Bakti menuju salah satu meja yang masih kosong dengan satu tangan memegang gelas berisi jeruk hangat. Pesanan Anggit. Setelah duduk di salah satu kursi, Bakti mengirimkan pesan kepada Anggit supaya cewek itu langsung menuju ke kantin setibanya di sekolah.

Sambil menunggu, Bakti memainkan game online di ponselnya. Dua kali percobaan dan ia bahkan tidak bisa mempertahankan permainan lebih dari satu menit. Ia mengesah, mood yang baik justru membuat performanya dalam bermain game berantakan.

"Bakti!"

Bakti menoleh kemana-mana. Sumber suara itu adanya di sana, di pintu masuk kantin. Natasha melambaikan tangan sesaat setelah meneriakkan namanya. Bakti balas melambai, menyuruh Natasha bergabung. Perempuan itu menunjuk gerobak bubur ayam di samping tempat berjualan ibu-ibu yang tadi disebut Bakti sebagai Bu Kantin, meski pada kenyataannya ibu-ibu itu bukan satu-satunya orang yang berjualan di sini. Bakti paham maksudnya. Ia pun mengangguk dan mulai kembali memainkan ponsel ketika Natasha melangkah memesan bubur ayam.

Dua menit berlalu dan permainan Bakti mengalami kemajuan. Sampai ia mendengar suara gemerincing yang menggema ke tiap sudut kantin. Suara gemerincing yang memaksa Bakti untuk mengalihkan perhatian dari ponselnya meski ia hampir saja bisa mematikan lawan. Bakti hanya perlu mengikuti instingnya untuk sebentar kemudian menemukan Natasha tersuruk di lantai, jaraknya baru beberapa langkah dari gerobak bubur ayam.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang