37. Sang Penolong

140 21 0
                                    

Orang-orang mengatakan hal-hal yang terjadi dua kali di dalam hidup sebagai de javu. Sedangkan Anggit lebih suka menyebutnya sebagai kesempatan kedua. Diskon besar buku sains langka yang terlewat lalu muncul lagi di awal bulan berikutnya, sodoran sepaket bahan dari Mama setelah tragedi bolu keras yang terpaksa dilempar ke keranjang sampah, dan kesempatan-kesempatan kedua yang muncul tak terduga-duga berikutnya.

Anggit meremas ujung rok seragamnya ketika ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara yang telah tertutup. Lagi-lagi terlambat. Padahal semalam ia tidak tidur terlalu larut, menghindari kafein tiga hari terakhir, dan membatasi telfonan dengan Bakti cukup sampai pukul sepuluh malam. Namun mungkin saja, keterlambatan kali ini bukan semata-mata kebetulan atau sebuah nasib buntung karena tidak lama kemudian Natasha muncul dari ujung jalan. Sama-sama terlambat. Mewujudkan dejavu dan barang kali membawa serta kesempatan kedua.

Natasha kini berdiri di sampingnya sambil sibuk mengikat dasi abu-abu. Keterlambatannya lebih parah daripada Anggit karena cewek itu benar-benar tidak punya cukup waktu untuk bersiap-siap di rumah.

Anggit manatap iba lalu tanpa sadar menyeletuk. "Lo pasti sampai nggak sempet sarapan."

Gerakan mengikat dasi Natasha melambat. Suaranya terdengar tidak begitu jernih ketika menyahuti. "Hampir nggak sempet mandi bahkan."

Natasha tidak tahan menanggung lapar. Asam lambungnya mudah naik saat perutnya kosong. Ia pernah pingsan beberapa kali saat kegiatan upacara bendera karena melewatkan sarapan. Anggit mengingatnya dengan baik hingga tanpa sadar tangannya mengeluarkan sekotak Tupperware berisikan beberapa potong roti gulung.

"Ambil, Nat." Anggit mengangsurkan kotak Tupperware tersebut. "Nanti lo pingsan lagi," imbuh Anggit dengan tawa canggung.

Ragu-ragu Natasha mengambil dua potong. Menumpuknya jadi satu lalu membungkusnya dengan tisu yang ia ambil dari saku seragam. "Gue makan di kelas aja nanti, ngumpet-ngumpet," ucap Natasha. Kemudian ia menyimpan roti berbalut tisu tersebut ke saku seragamnya.

Anggit mengangguk, menutup dan menyimpan kembali tupperwarenya ke dalam tas. Ia hendak mengucapkan sesuatu ketika Pak Didi muncul dari balik jeruji gerbang. Natasha seketika merengek, mengarang cerita tentang alasan ulangan harian di jam pertama dan PR yang harus dikumpulkan dan telah diusahkan hingga dini hari hingga ia terpaksa terlambat hari ini. Sementara Anggit cuma senyum-senyum di sampingnya. Mengiakan ketika Natasha butuh dukungan.

Natasha selalu berbakat meluluhkan siapa saja. Apalagi manusia berhati baik seperti Pak Didi. Rentetan alasan Natsha yang sebetulnya terdapat banyak lubang alur dan kecacatan bahkan berhasil meloloskan mereka dari hukuman. Benar-benar ajaib. Tidak perlu lagi panas-panasan di bawah tiang bendera atau mandi keringat mengeliling lapangan basket.

Mereka cekikian sepanjang koridor. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka mengusili orang bersama-sama. Bahkan yang paling akhir pun rasanya sudah memudar dari ingatan masing-masing. Kelas Natasha lebih dekat dari lobi depan, jadi cewek itu yang pertama kali memisah. Sementara kelas Anggit masih selisih dua ruang lagi.

"Eh, bentar, Nggit." Natasha menahan langkah Anggit.

Anggit menoleh dan kembali ke tempat semula ia mengucap sampai jumpa kepada Natasha. Dilihatnya temannya itu sibuk mengaduk-aduk tas lalu mengeluarkan sebuah map kertas merah pudar. "Ini kemarin gue dapet dari TU."

"Buat gue?"

Natasha menggeleng halus. "Bukan. Buat Bakti katanya. Kata ibunya dokumen kemarin kelebihan, TU cuma butuh satu. Nggak tau juga kenapa dititip ke gue sama Ibu TU-nya. Gue titip sama lo aja ya. Nanti kayaknya gue nggak bisa keluar istirahat mau belajar buat ulangan harian terkutuk itu."

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang