18. Pelukan Yang Terasa Sama

110 22 9
                                    

"Kok abis menang lempeng-lempeng aja itu muka?" Riki mengalungkan lengannya ke leher Revan dengan gestur mencekik. Membuat Revan terhuyung kemudian mendorong sahabatnya itu supaya menjauh disertai umpatan.

"Santai-santai." Riki mengangkat kedua tangannya setinggi dada, seolah mengantisipasi serangan selanjutnya.

Akan tetapi alih-alih menyerang Riki, atau melepaskan sisa kekesalannya Revan memilih menjatuhkan diri di sepetak paving berlumut dengan cuek, karena toh sebagian bajunya memang telah kotor terkena oli. Riki menyusul tepat di sebelahnya. Selama beberapa saat keduanya asyik mengamati belasan rider yang tengah bersiap-siap di garis start, dengan seorang flagman perempuan berpakaian terbuka berdiri di ujung depan, ketika bendera kotak-kotak itu kemudian di ayunkan, para pembalap liar tersebut menarik pedal gasnya kuat-kuat, menimbulkan deru mesin yang memekakkan telinga dan menyemburkan asap knalpot.

Riki terbatuk, membuat Revan mendecih. Kadang Riki memang masih berlaga sok anak baru, meski pada kenyataannya cowok itulah yang justru mengenalkan Revan terhadap hobinya yang satu ini sejak masih SMP. Bahkan meski kini telah berpisah kota dan sekolah, keduanya hampir tidak pernah meninggalkan jadwal rutin mereka setiap malam minggu.

Lima belas menit yang lalu, Revan sendiri telah berhasil memenangkan satu sesi balapan berkat kawasakinya yang telah dimodifikasi.

"Anak-anak ngajakin party," kata Riki kemudian, masih membahas tentang cara merayakan kemanangan Revan tadi. "Tantenya Niki buka pub baru, coba yuk!"

Seperti otomatis, Revan menggelang. Satu-satunya bagian dirinya yang masih tersisa dan berusaha ia pertahankan hanyalah balapan liar ini. Sesuatu yang masih aman karena kemungkinan Natasha mengetahuinya sangat kecil. Setidaknya tidak akan ada sisa alkohol yang tumpah di jaketnya kemudian terendus oleh pacarnya itu, tidak akan ada sisa abu rokok yang tidak sengaja terjatuh di lantai mobilnya kemudian menciptakan kecurigaan, lalu berakhir dengan perdebatan panjang nan dramatis.

Sosok yang kini berputar-putar di kepala Revan tiba-tiba mengirimkan panggilan telepon. Revan menyingkir lebih jauh demi menghindari hiruk pikuk. Riki tidak mengatakan apa-apa, hanya memasang wajah maklum, sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia usahakan untuk Revan.

Kamu dimana, adalah pertanyaan pertama yang dipilih Natasha untuk mengawali percakapan. Selalu.

"Di jalan," kata Revan jelas berbohong.

Nada kecurigaan itu mengawal introgasi selanjutnya. "Jam setengah dua belas di jalan? Mau kemana?"

"Habis nganter Mama kondangan ke saudara." Revan mengucapkan kebohongan yang lain.

"Kamu nggak bilang kalau mau pulang ke Bogor?" Nada bicara Natasha menyudutkan.

"Aku nggak pulang, Mama yang nyamperin ke sini, saudaranya tinggal di Jakarta." Detik hening berlalu begitu saja. "Mau ngomong sama Mama juga?"

"Nggak usah." Natasha tidak terdengar sungguhan percaya, tapi tak urung Revan menghembuskan napas lega. "Hati-hati ya, jangan ngebut."

Percakapan ditutup dengan ucapan aku sayang kamu dan Revan kembali ke samping Riki. Saat kemudian Riki membagikan rokok kepadanya, Revan tidak menolak. Cowok itu justru membakar ujung rokoknya dengan tidak sabaran kemudian menghisap ujung yang lain dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan asap sampai terasa sesak.

"Gue mau berubah, Rik," ucap Revan tanpa diminta.

"Gue sampe bosen denger lo ngomong berubah berubah berubah," kata Riki jujur. "Kalo lo beneran mau berubah buat apa lo masih di sini sekarang? Mending lo di rumah shalat tahajud, atau minimal nemuin keluarga lo."

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang