31. Kembali

88 20 0
                                    

Bakti, meski terbiasa melajukan motornya di atas rata-rata kecepatan yang diperbolehkan pada saat-saat tertentu–ketika terlambat bangun setelah menonton pertandingan bola semalam suntuk dan harus berkejaran dengan waktu supaya tidak mendapat hukuman, ketika Dio menelfonnya tengah malam di pub dalam keadaan mabuk dan mengucapkan segala yang tidak dirinya sadari. Akan tetapi baru kali, Bakti melajukan motor sekencang angin hanya untuk menuju ke rumahnya. Ia ingin secepatnya tiba di rumah. Pulang. Menemui Bunga.

Setelah memarkir motornya sembarangan di halaman rumah, Bakti berlari melompati undakan di teras rumahnya. Tersaruk-saruk mencapai pintu kamar Bunga yang tertutup lalu membukanya tergesa-gesa. Bunga duduk di tepi tempat tidurnya dengan kedua telinga tersumbat pelantang suara sambil menghadap ke arah jendela. Tidak menyadari kehadiran Bakti.

Dengan napas memburu, Bakti menghambur ke tempat Bunga berada. Melingkarkan kedua lengannya yang panjang ke tubuh adik perempuannya itu erat-erat. Bunga yang diserbu demikian tergagap dan berteriak memprotes. Namun kemudian menyadari bahwa Bakti tidak memeluknya dengan cara yang biasa. Bakti memeluknya dengan seluruh kekuatan dan juga keprasahan di saat yang sama. Bakti memeluknya dengan segenap penjagaan, memberikan rasa aman yang ia pikir telah menghilang dari dunianya entah sejak kapan.

Perlahan Bunga melepaskan pelantang suara di telinganya. Kini ia tak lagi mendengar lagu band indie yang akhir-akhir ini ia gandrungi siang-malam. Kini yang terdengar olehnya adalah deru napas Bakti yang halus, detak jantungnya yang samar-samar, dan gesekan rambutnya dengan tubuh Bakti ketika kepalanya bergerak.

"Ti? Lo nggak apa-apa?" tanya Bunga pelan.

"Makasih, Bubu." Bakti menyebut Bunga dengan nama kecilnya. "Makasih karena lo memilih gue dibanding Mama."

Bunga tersenyum samar seiring dengan kedua matanya yang menghangat. Ia sama terkejutnya dengan Bakti akan keputusannya sendiri yang ia ambil beberapa jam yang lalu. Saat ia menolak ajakan Mama yang telah ia nantikan tiap menjelang tidur selama dua tahun lamanya. Ajakan Mama yang serupa jawaban akan segala doa-doa dan harapannya. Ia masih sama merindukan Mama seperti dua tahun kemarin, masih mengandaikan saat-saat indah yang lalu akan kembali, tetapi kemudian ia mengerti ia sudah cukup baik-baik saja.

Bakti, Papa, rumah, dan segala kenangan di sana, terlalu berharga untuk ditinggalkan. Tidak peduli seberapa pun membenci, nyatanya Bunga memilih Bakti daripada pergi bersama Mama. Bakti yang tidak pernah berbalik membencinya, Bakti yang diam-diam memperhatikannya, Bakti yang memarahinya semata-mata untuk menujukkan rasa sayang, Bakti yang pesimis dan selalu takut ditinggalkan, Bakti yang berusaha mengimbanginya tetapi tidak pernah berhasil.

"Lo tuh masih bego, mana tega gue ninggalin lo," ucap Bunga berkelakar. Suaranya parau karena menahan isak.

"Lo nggak kangen Mama?" tanya Bakti.

"Selalu," ucap Bunga jujur. "Tapi bukan berarti gue harus ikut dia, kan, Ti?"

Bakti tergelitik untuk bertanya mengapa, tetapi ia urungkan niatnya. Keberadaan Bunga di sini sudah lebih dari cukup, Bakti tidak butuh banyak alasan lagi. Meski malu-malu Bakti dapat merasakan Bunga balas memeluknya. Erat.

_C-o-l-o-u-r-s_

Apa yang dikatakan Natasha tadi pagi bukan cuma kalimat kosong. Sore harinya, pintu rumah Anggit diketuk. Mbok Sedayu berdiri di sana sambil menggendong Mihu yang mengantuk. Anggit yang terkejut tidak bisa menanyakan apa-apa meski ia sungguhan kesulitan memahami keadaan.

"Mbak Nata nyuruh saya ngasih ini ke Mbak Anggit," kata Mbok Sedayu. Di tangannya yang bebas tergantung tas kertas berisi seluruh peralatan dan kebutuhan Mihu.

Anggit mengerjapkan mata. Ada kebahagiaan terselip ketika ia menyadari peliharaan kesayangannya kembali kepadanya setelah sekian lama, tetapi getir ketika ia tahu di saat yang sama ia resmi kehilangan sahabatnya.

Anggit mengambil alih Mihu dari tangan Mbok Sedayu yang tampaknya mulai pegal. "Natasha ada titip pesan yang lain, Mbok?"

Mbok Sedayu menggeleng. "Ndak ada, Mbak. Kalau begitu saya permisi ya."

Mbok Sedayu berlalu setelah meninggalkan tas kertas dan Mihu beserta tumpukan pertanyaan yang tak terjawab untuk Anggit. Seperti orang linglung, Anggit berjalan gontai ke ruang tamu, membaringkan Mihu di sofa lalu duduk di sampingnya. Tangannya bergerak membuka tas kertas yang ditinggalkan bersama Mihu. Sekotak sereal kucing, baju-baju Mihu yang jarang dikenakan, buku-buku kesehatan tentang kucing, dan sepucuk surat.

Surat dari Natasha amat sederhana, tanpa amplop, tanpa tanda pengenal, hanya tulisan Natasha yang berbaris rapi mengisi garis demi garis. Anggit menarik napas dalam-dalam sebelum mulai membaca. Rasanya seperti hendak melangkah menuju babak baru.

Nggit, gue nggak pernah membayangkan suatu hari harus nulis surat kayak gini cuma untuk berkomunikasi sama lo. Too old fashion dan cheesy abis. Tapi selain itu, gue nggak tau lagi gimana caranya untuk ngomong apa yang sebenar-benarnya gue rasain.

Lo berhak nggak baca surat ini, Nggit. Lo berhak untuk masa bodoh sama gue. Tapi gue cuma mau jujur sama lo dan sama diri gue sendiri.

Gue mengembalikan Mihu. Kucing yang gue minta dari lo lalu lo berikan. Gue mengembalikan harapan-harapan yang gue minta secara paksa dari lo, gue mengembalikan Bakti yang sejak awal selalu jadi milik lo.

Gue selalu iri sama lo, Nggit. Karena lo begitu kuat. Karena lo selalu punya harapan di dunia yang bahkan nggak pernah ramah buat lo. Gue iri karena lo selalu mampu bertahan. Gue iri dengan kekuatan yang selalu lo pinjamkan di saat gue patah, makanya gue berusaha merebut kekuatan itu, tapi gue salah, Nggit. Kekuatan lo nggak bisa direbut, justru lo semakin bertambah kuat dan gue semakin tersesat. Gue minta maaf, Nggit. Karena begitu egois, karena nggak pernah jadi sahabat yang baik buat lo, karena udah membenci lo untuk kekurangan gue sendiri.

Gue memalukan. Gue akui.

Lo nggak harus memaafkan gue, Nggit. Kita nggak harus jadi sahabat lagi. Tapi gue mohon, lo harus terus berusaha jadi Anggit yang gue kenal, yang tetap kuat dan penuh harapan.

Anggit sadar dirinya menangis ketika bercak-bercak tinta di kertas surat tersebut memecah oleh tetesan air. Mihu masih tertidur dan Anggit tidak ingin membangunkannya oleh suara isaknya. Ia menyingkir pergi ke bagian samping ruang tamu, membuka jendela tua di sana lebar-lebar dan menghirup udara sebanyak yang mampu paru-parunya tampung. Akan tetapi sesak di dadanya tidak berkurang.

Natasha memiliki segalanya yang ia tak punya. Orang tua yang lengkap. Sebuah minat yang besar akan sesuatu. Deretan penggemar, popularitas, dan segala sesuatu yang tidak pernah cukup ramah untuk Anggit.

Akan tetapi bukan itu semua yang membuat Anggit merasa hancur. Anggit remuk karena pada kenyataannya, ia tidak sekuat yang Natasha kira. Anggit menangis untuk ketidak berdayaannya. Ia menangis sejadi-jadinya.

_C-o-l-o-u-r-s_

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang