Selamat Membaca...
Kesanggupan Anggit untuk bertemu Alfa membawanya ke salah satu tempat lama yang pernah mereka kunjungi bersama. Kedai Cumi kecil di sudut terpencil Jakarta, jarang terlihat orang, tersembunyi dari keramaian, jauh dari hiruk pikuk, tetapi menyediakan makanan paling enak. Sebuah kombinasi ideal bagi keduanya.
Ketika menunggu pesanan mereka datang, Anggit sibuk berpikir, apakah ia memang telah siap mendengar seluruh penjelasan dari Alfa atau keputusan yang ia buat hanyalah bentuk implikasi oleh rasa sakit yang digoreskan Bakti tadi siang. Apakah ia hanya sedang mencari pengalih perhatian? Agar alih-alih termangu dan menyaksikan layar ponselnya yang berkedip-kedip menampilkan panggilan dari Bakti yang terus menerus diabaikannya, dirinya bisa memiliki sesuatu yang lain untuk dipikirkan. Alfa dan seluruh enigma yang membayangi sosoknya.
Tidak banyak yang berubah dari sosok cowok tinggi tersebut. Umurnya bertambah empat bulan sejak terakhir kali mereka bertemu. Rambutnya sedikit memanjang, kulitnya lebih pucat, sorot matanya tampak lelah tapi tak kehilangan kilat kecerdasan. Oleh sorot mata yang sama Anggit pernah dibuat jatuh hati.
"Tempat ini nggak berubah ya?"
Anggit mengedarkan pandangan ke sekeliling. Terdapat lima buah meja di dalam kedai ini, masing-masing meja dilingkari oleh beberapa bangku kayu. Sumber penerangan ruang ini adalah sebuah lampu bergaya kolonial yang digantung di tengah-tengah, sehingga cahayanya yang keemasan dapat menyebar ke setiap penjuru. Sebagian menimpa wajah Alfa dan membuatnya serupa sosok yang berasal dari dunia dongeng. Singkatnya, ia memesona di balik kemeja garis-garis vertikal monokromatik yang dipakainya. Membuat Anggit bertanya-tanya apakah jantungnya sudah berhenti berfungsi karena tidak ada debaran yang muncul seperti dulu saat-saat ia merasa terpukau oleh Alfa.
"Apa sih, Mas, yang akan berubah dalam waktu enam bulan?"
Saat pertama sekaligus terakhir kali mereka mengunjungi tempat ini adalah enam bulan yang lalu. Saat itu mereka terjebak di antara hujan dan rasa lapar. Menemukan kedai ini sebagai tempat meneduh terasa seperti menemukan kotak harta karun di palung samudra. Surga.
"Oh, jelas banyak banget."
Anggit mengerutkan dahi. Bingung. "Aku nggak begitu yakin."
Pesanan mereka datang. Menginterupsi obrolan yang baru saja terbangun. Alfa menyendok makanannya, rasa lezat yang sama membuatnya tersenyum puas.
"Buktinya masakan di tempat ini masih sama enaknya," kata Anggit.
"Waktu itu ajaib, Anggit. Sedetik aja bisa merubah banyak hal, apalagi enam bulan. Buktinya dalam waktu empat bulan aja, udah begitu banyak yang berubah."
"Contohnya?"
"Kamu," tutur Alfa tenang.
Anggit meletakkan sendoknya ke dalam mangkuk. Rasa laparnya mendadak menghilang. "Maksud, Mas?"
Alfa pun melakukan hal yang sama, ia bahkan mendorong mangkuknya menjauh dari jangkauan tangan. "Kamu udah berhenti nunggu aku, kan?"
Anggit ingin tertawa lalu bertanya apakah Alfa sedang melindur. "Kamu lupa siapa yang pertama kali memutus kontak?"
"Ya, aku salah." Alfa memijat pelipisnya, menampilkan rasa bersalah yang kentara. "Aku minta maaf."
Lalu ekspresinya tiba-tiba berubah, menjadi tersenyum tertahan. Seolah ia tengah mengenang sesuatu yang indah di masa lampau. "Aku ketemu seseorang, namanya Mei, orang Indonesia juga, setahun lebih muda dari aku. Cantik dan mirip kamu."
Anggit terdiam, mengantisipasi rasa sakit yang tidak juga muncul. Hanya sebersit kecewa karena ia berharap dapat mendengar cerita itu lebih awal.
"Proyek yang sedang tim kami kerjakan tiba-tiba berkembang menjadi lebih besar dari yang diperkirakan. Aku nggak pernah berpikir akan dapat libur untuk pulang ke sini dalam waktu dekat. Lebih-lebih aku justru ditawari beasiswa untuk kuliah di Taiwan. Beasiswa itu nyata, pasti, aku nggak mungkin nyia-nyiain itu dan berpikir untuk mengejar kuliah di Singapura yang belum pasti kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...