Bagi Natasha perhatian dan penggemar sudah menjadi sesuatu yang terlalu normal untuk berada dalam kesehariannya. Layaknya menarik nafas kemudian mengembuskannya kembali. Seolah perhatian itu sendiri merupakan bagian dari dirinya. Satu paket yang bila salah satu hilang maka yang lainnya tak akan menjadi genap.
Kata orang-orang Natasha cantik, oleh karena itu ia bisa mendapatkan seluruh perhatian dengan mudah. Oleh sebab itu pula Natasha berjuang begitu keras untuk berprestasi melalui bidang yang ia suka sekaligus kuasai. Agar ia bisa membungkam tudingan-tudingan miring itu, bahwa seperti wajahnya yang menarik, otaknya tidak kosong.
Ada satu orang yang selalu memberikan penilaian berbeda. Anggit Parmadita, sahabatnya sejak kecil. Kata Anggit, Natasha memang cantik, tetapi orang-orang menyukai dan memperhatikannya bukan hanya sebatas karena wajahnya yang manis berbingkai rambut ikal hitam itu. Tetapi lebih daripada itu, kata Anggit, Natasha itu orang yang tidak pernah bisa menyembunyikan sesuatu. Orang yang selalu menjadi diri sendiri, merasakan kemudian menunjukkan perasaannya, sehingga orang-orang juga merasa tidak perlu menyembunyikan apa-apa ketika bersamanya. Mereka akan menjadi diri mereka sendiri.
Natasha mengamininya. Ia memang tidak pernah berusaha menjadi siapa-siapa selain dirinya sendiri. Pun ketika kisah cintanya dengan Revan mengudara ke seantero sekolah, Natasha tidak ingin menyangkal apa-apa. Meski berikutnya desas-desus tidak enak terdengar dimana-mana, tuduhan-tuduhan miring tersebar, bahkan beberapa orang terang-terangan menghinanya, Natasha tidak pernah berusaha menyembunyikan apa-apa.
Ia menyayangi Revan. Baginya itu cukup. Revan tidak seburuk yang mereka katakan. Itu yang terpenting.
Hanya saja, pagi ini, langkahnya sedikit goyah. Membuat Natasha menanyakan kembali, kemana perginya kepercayaan yang pernah ia dan teman-temannya bagi bersama.
Ketika pertama memasuki kelas, Natasha masih memasang senyum lebar. Tidak mau ambil pusing terhadap perkataan menyakitkan atau pandangan merendahkan yang para siswa berikan kepadanya sepanjang koridor. Perduli setan dengan orang-orang yang bahkan tidak pernah mengenalnya dengan benar lalu memberikan penilaian seolah-olah mereka tahu segalanya. Bagi Natasha selama Adel, Mayang, dan Ratu masih berada di kelas yang sama dengannya, itu sudah cukup.
"Kok kalian nyolong start gitu sih, gue kan juga mau ikutan ngrumpi," tutur Natasha ceria sambil meletakkan tasnya di meja.
Cewek itu kemudian duduk di samping Ratu. Ikut melingkari meja Adel dan Mayang. Membicarakan apa saja sampai bel jam pertama berbunyi. Seperti biasanya.
"Kita nggak lagi ngrumpi kok, Nat." Adel menyibak poni pagarnya gugup. "Kita cuma ngobrolin soal kostum buat pentas nanti."
Natasha memandang tiga orang itu bergantian yang entah bagaimana serentak memasang wajah tegang. Natasha memaksakan tawa, berharap bisa mencairkan entah ketegangan semacam apa yang tengah terjadi. "Yaudah gue ngikut juga kali, gue kan sutradaranya, kalian lupa? Apa takut gue omelin kalau nggak sesuai penokohan?"
Adel dan Ratu tertawa, tapi tawanya menyakitkan, terlalu dibuat-buat sehingga atmosfer di antara mereka jadi semakin menyesakkan. Akan tetapi setidaknya itu masih lebih baik daripada Mayang yang setia memasang wajah datar.
Natasha tidak bisa berpura-pura dalam hal apa pun, oleh sebab itu tidak peduli sebesar apa pun rasa cintanya terhadap dunia seni peran ia tidak bisa menjadi aktor. Termasuk kali ini, ia tidak bisa berpura-pura tidak terjadi sesuatu di antara mereka bertiga. Ia tidak bisa berpura-pura tertawa, tidak bisa berpura-pura bahwa dirinya diterima jika yang terjadi jelas-jelas sebaliknya.
"Kalian bertiga mungkin ada sesuatu yang perlu diomongin ke gue?"
"Enggak." Itu berasal dari Adel dan Ratu.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...