Hari ini Bakti sengaja pulang lebih awal. Cowok itu meninggalkan lapangan tepat ketika waktu menunjukkan jam latihan mereka habis, mengganti baju tanpa benar-benar meladeni ajakan ngobrol dari teman-temannya, terakhir ia juga menolak untuk turut nongkrong di warkop pengkolan teman-teman setimnya. Sesampainya di rumah, setelah memarkir motornya, Bakti tidak langsung mengganti seragam. Ia justru duduk di ruang tamu. Berpikir sambil mengatur napas. Memastikan tiap-tiap dialog yang akan ia ucapkan sudah terangkai rapi.
Bakti terlonjak dari tempat duduk ketika pintu rumahnya tiba-tiba dibuka dari luar. Bukan Papa seperti dugaannya sebelumnya, melainkan Dio. Sahabatnya itu juga masih sama-sama mengenakan seragam, bahkan masih memanggul ransel.
Setelah peristiwa perkelahian mereka tempo hari, ini adalah hari pertama Dio kembali main ke rumah Bakti.
"Lo ada minum nggak di kulkas? Haus gue sampe mau mati." tanya Dio sambil menyelonong ke dapur. Cowok itu sudah kembali bersikap biasa. Lancang dan tidak tahu diri. Seolah-olah beberapa hari lalu tidak pernah berniat membunuh Bakti dengan kedua tangannya sendiri. Perang dingin di antara mereka memang sudah selesai. Berakhir ketika tadi pagi Bakti mengirimkan pesan supaya Dio kemari. Di saat yang sama Dio tahu, bahwa akal sehat Bakti sudah kembali.
"Ambilin gue soda juga ya satu," teriak Bakti dari ruang tamu.
Ketika kembali ke ruang tamu. Tak tanggung-tanggung, Dio membawa hampir separuh dari isi kulkas sekaligus.
"Ini kalo Bunga ngamuk-ngamuk makanannya habis, lo yang tanggung jawab."
Dio cengengesan. "Bunga mah baik, nggak kayak lo pelit!"
"Lo belum tau aja dia kalo lagi ngamuk."
Di mata Dio, mau semarah apa pun Bunga, cewek itu pasti tetap cantik. "Jadi dalam rangka lo nyuruh gue ke sini? Mau minta maaf? Mau sungkem?"
Bakti mengembuskan napas berat. Merasa jengah hendak mengakui kebenaran dari ucapan Dio yang sempat membuatnya naik pitam dulu. "Lo bener, Yo. Anggit juga sedang dalam masa-masa sulit. Dia kehilangan beasiswanya, masa depan dia terancam, dia juga tertekan karena ibunya."
"Nah kan, melek kan sekarang mata lo!" ucap Dio seraya membusungkan dada. "Terus sekarang rencana lo apa?"
"Gue mau mengalihkan beasiswa gue buat dia, Yo. Gimana menurut lo?"
Dio ternganga dengan mulut penuh keripik kentang. "Lo serius? Udah ngomong sama bokap lo?"
"Belum. Bentar lagi Bokap pulang, gue bakal coba ngomong."
Dio tampak berpikir lama. Bakti pun begitu, meski ia sudah melewati malam-malam panjang untuk merenungkan ini, tetap saja ia belum sepenuhnya mantab. Beasiswa yang ia peroleh adalah buah dari pengorbanannya memeras peluh untuk tim sepakbola sekolah, sejak kelas sepuluh. Beasiswa ini pula yang akan menjamin masa depannya. Agar uang dari Papa dapat ia alihkan sebagai tabungan untuk dirinya masuk pembinaan klub professional dan memulai karir persepakbolaannya.
"She deserves it, Yo. Lo ngerti kan? Kalo memang cuma ini satu-satunya cara supaya gue bisa menebus kealpaan gue dalam saat saat tersulitnya dia. Gue akan lakukan."
Dio menepuk pundak Bakti dengan tangannya yang kotor oleh sisa keripik kentang. "Kok gue tiba-tiba bangga gitu ya, Ti, sama lo."
Bakti mendorong Dio yang tengah memimik muka terharu. "Najis!"
_C-o-l-o-u-r-s_
Bakti tahu mungkin saat ini bukan waktu yang tepat. Papa barangkali masih kelelahan, masih belum siap untuk diajak bicara menyangkut hal-hal yang penting. Namun Bakti juga tidak tahu lagi kapan kiranya dirinya dan Papa akan punya waktu bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...