Anggit mengusap wajahnya yang tidak berkeringat dengan kedua tangan, kemelut di kepalanya tidak kunjung hilang, justru bertambah rumit setiap kali ia mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Menyimpan dua buah kuas itu sama artinya seperti menyimpan pengharapan kepada Alfa. Sesuatu yang entah sejak kapan terasa benar sekaligus salah pada saat yang sama.
Dengan sisa-sisa tenaga Anggit berjalan menuju foodcourt. Sesampainya di sana, ia mengedarkan pandangan, lantas terhenti pada salah satu bangku di samping pot bunga teramat besar berisi tanaman berdaun lebar yang tidak ia ketahui jenisnya. Bakti duduk di sana, tas ransel laki-laki itu terlepas dan disandarkan di kursi kosong. Hati Anggit mencelus. Ia sudah terlatih membohongi dirinya sendiri sejak lama, tapi kali ini ia merasa kesulitan bersembunyi dari perasaannya yang satu ini. Orang-orang menyebutnya sebagai rasa bersalah.
Anggit melangkah semakin dekat meski terasa gamang. Udara di sekelilingnya dipenuhi aroma kudapan dan minuman. Ada rasa manis dari gula caramel dari stan waffle di ujung selatan, ada aroma gurih dari stan aichiro kulit ayam, Anggit bahkan menangkap wangi teh dari stan yang paling jauh. Namun sayangnya tidak ada satu pun dari mereka berhasil menggugah selera makannya.
"Kelamaan ya?" Anggit menarik kursi di hadapan Bakti. Cowok itu mendongak dari layar ponsel yang semula menyita perhatiannya, tergugah tidak hanya oleh pertanyaan cewek itu, melainkan oleh suara tarikan kursi dan aroma parfum Anggit yang khas. Yang sejenak memecah kejenuhan aroma daging di sekitar Bakti.
"Kamu nggak jadi makan?" tanya Anggit, kecuali dua cangkir kertas teh racik melati, meja mereka nyaris kosong.
"Enggak, kalau hari Rabu begini biasanya Mbak Asa masak di rumah, sayang kalo nggak dimakan."
Anggit mengangguk paham. "Yaudah, kalau gitu setelah ini kita pulang."
Rencana untuk secepatnya pulang sepertinya tidak akan terlaksana, karena sejurus kemudian dua orang yang Anggit kenali mendatangi meja mereka. Anggit terkejut sebentar, sebelum kemudian menawarkan bergabung. Dengan senang hati, cewek itu beranjak memutari meja kemudian berpindah ke samping Bakti. Di kursi yang semula hanya di tempati tas ransel hitam.
"Hai, Bakti, Anggit, ini Revan." Natasha berinisiatif mengenalkan Revan secara resmi kepada dua temannya. "Van, ini Anggit sama pacarnya. Temanku yang udah sering aku ceritain ke kamu."
Bergantian, Revan menjabat tangan Anggit dan Bakti. Yang terasa terlalu berbeda karena seperti miliknya, tangan Anggit begitu kurus dan ringkih, sedangkan tangan Bakti besar dan berotot.
Natasha mulai menyuapkan potongan hoka-hoka bento ke mulutnya dan selalu menjadi orang yang berusaha membangun suasana. "Tumben, Nggit, bisa kelayapan, biasanya jam segini lo bertapa di perpustakaan?"
"Kandangnya lagi dibuka, jadi bisa gue culik." Bakti menambahkan setengah berkelakar.
"Bagus itu, Ti, sering-sering aja, gue takut dia kehilangan sisi humanisme kalo keseringan ngurusin apa itu alkane alkuna tau lah gue." Natasha mengedikkan bahu.
Revan menusuk plastik penutup teh raciknya, menjadi orang ketiga yang tidak memesan makanan setelah Bakti dan Anggit. Untuk beberapa waktu, Revan berusaha mengamati kedua orang di hadapannya dengan cara yang sebisa mungkin tak kentara. Revan bukan orang yang gemar menghakimi bahkan saat seisi dunia beramai-ramai melabelli dirinya. Hanya saja, rentetan cerita yang disalurkan Natasha kepadanya saban hari nyaris selalu mengenai kedua orang tersebut.
Tentang Anggit, sahabat masa kecil yang senantiasa menjadi tong sampah seluruh curhatan Natasha. Orang yang selalu punya berbagai sudut pandang terhadap segala permasalahan yang terjadi, yang selalu memberikan pehamaman saat Natasha bahkan tidak bisa memberi hal tersebut kepada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLOURS
Teen FictionTidak banyak yang Anggit harapkan dari masa SMA-nya. Ia hanya ingin bisa mempertahankan beasiswa sampai kelulusan. Sebisa mungkin tidak merepotkan Mama yang bersusah payah membesarkannya seorang diri. Baginya, dunia hitam-putih pun terasa cukup. Me...