17. Malam dan Rahasia-Rahasianya

107 22 7
                                    

Dengan seperangkat air conditioner yang digantung di salah satu sudut dalam keadaan menyala, ruang guru tempat Anggit menunggu wali kelasnya seharusnya terasa dingin, atau minimal sejuk karena suhu pendingin diatur pada titik 18 derajat celcius. Akan tetapi Anggit justru dapat merasakan titik-titik keringat yang bermunculan di dahinya, mengalir sampai ke pelipis. Tidak ada yang baik dari dipanggil ke ruang guru saat jam istirahat.

Anggit sudah pernah mengalaminya dua kali dengan kronologi yang berjalan nyaris serupa. Seseorang bertugas sebagai penyambung lidah – menyampaikan pesan dari sang wali kelas kepada Anggit yang sudah bersiap menghabiskan waktu istirahat demi 3 potong tape goreng hangat di kantin, atau menuntaskan lembar-lembar terakhir dari buku non-fiksi yang dicicilnya saban hari di perpustakaan. Terpaksa niat-niat tersebut diurungkan, sebagai gantinya Anggit akan mendapat surat peringatan tentang nilai akademisnya yang menurun atau tentang tunggakan SPP selama beberapa bulan ke belakang.

Yang kali ini datang adalah tentang nilai-nilai ulangan hariannya yang tidak secemerlang biasanya. Bu Rahayu – wali kelas sekaligus pembimbing olimpiade kimia—menyodorkan lembar-lembar kertas ulangan kepada Anggit sesaat setelah beliau memasuki ruangan. Di tumpukan teratas Anggit melihat angka 60 yang rasanya menimpuk mata.

"Ibu tahu, ini cuma ulangan harian, tapi ujian midsemester juga tinggal menghitung minggu. Secara tidak langsung ini sudah bisa menjadi cerminan tentang nilai-nilai kamu nantinya."

"Saya akan perbaiki, Bu." Anggit tertunduk memandangi jemarinya yang bertautan. Masih berusaha mendifinisikan perasaan macam apa yang tengah menyergapnya kini.

Bu Rahayu menatap Anggit lama dari balik kacamata plusnya sebelum berbicara. "Ibu dengar kamu sedang dekat dengan seseorang, betul?"

Anggit terkelu sebelum anggukan lemah menyusul kemudian. Tidak menyangka bahwa kedekatannya dengan Bakti terdengar sampai ke kalangan guru-guru.

"Orang itu Nusa?" Beberapa guru memang lebih akrab memanggil Bakti dengan nama depannya. Bu Rahayu adalah salah satunya.

"Bakti tidak ada hubungannya dengan semua ini, Bu." Anggit serta merta menyela. Sebisa mungkin menghentikan entah pikiran buruk macam apa di kepala Bu Rahayu. "Jika nilai saya menurun, itu karena kemampuan saya yang bermasalah. Bakti tidak membawa pengaruh buruk untuk saya."

Anggit tidak pernah membantah. Tidak pernah berbicara dengan penuh penekanan kepada guru di sekolahnya, siapa pun itu. Ini adalah kali pertama. Ia hanya benar-benar takut, ia tidak mau nama Bakti menjadi buruk. Ia tidak mau Bakti menanggung lebih banyak luka lagi, apalagi luka yang disebabkan olehnya.

"Saya berusaha percaya dengan kamu, Anggit. Tapi nilai-nilai kamu juga tidak bisa bohong." Bu Rahayu menyodorkan lembar hasil ulangan lebih dekat. Seolah berusaha menjernihkan mata Anggit yang membuta. Ketika melihat angka 55 terukir dengan tinta merah pada mata pelajaran yang selama ini ia anggap remeh Anggit merasakan asam lambungnya bergerak naik dan mendesak untuk dikeluarkan.

Anggit meringis. Menahan mual dan keringat dingin yang membasahi telapak tangannya. Nilainya tidak sedang turun melainkan terjun bebas.

Seolah belum cukup, Bu Rahayu tak lupa memberi ultimatum sebagai pelengkap. "Perbaiki nilaimu. Pastikan untuk mendapatkan tiket olimpiade. Kalau sampai tidak, saya sudah tidak bisa lagi merekomendasikan kamu untuk mendapat beasiswa silang. Itu artinya beasiswamu akan terhenti sampai semester ini."

Anggit paham, langkahnya begitu gontai dari ruang guru. Ketika mengikuti pelajaran yang tersisa pun, kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya kusut. Kehilangan beasiswa bisa berarti akhir dari segalanya. Uang yang seharusnya dapat dikumpulkan untuk tabungan masa kuliahnya terpaksa harus dialih fungsikan untuk membayar SPP. Jika itu benar-benar terjadi maka rencana masa depannya akan berantakan.

COLOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang